Mohon tunggu...
Zhee Rafhy
Zhee Rafhy Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Amatir

Sajak kecil yang tidak puitis, Lelaki kecil yang tidak romantis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Euforia Patah Hati

19 Mei 2019   23:08 Diperbarui: 19 Mei 2019   23:55 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pintaram.com/t/girlishthoughts

Rasanya sudah agak lama, atau mungkin memang sudah lama. Tetapi yang pasti harus aku akui, aku tidak tahu kapan kita benar-benar sepakat untuk memulai kisah ini. Ketika yang lain sibuk merayakan aniversary hubungan mereka yang entah baru berjalan sebulan, dua bulan, setahun, bahkan mungkin seminggu. Tetapi aku dan kamu memilih tak merayakan apapun atas hubungan kita sampai pada hari ini.

Semuanya tetap berjalan normal seperti hari-hari biasanya. Kau tetap sibuk dengan pekerjaanmu dan aku pun tetap sibuk dengan rutinitasku. Nyaris tak ada yang berbeda setelah kau berada disisiku mengusir bayang-banyang awan gelap yang hinggap di seyumanku yang tawar. Tak ada rasa, tak ada warna, kecuali hanya sekedar sunggingan hampa yang menggantung di bibirku.

Kau bilang kau akan selalu siap untuk memberi rasa, warna, dan juga mengembalikan senyumku yang hilang beberapa hari terakhir ini. Kau paham betul aku baru saja patah hati dari kekasihku yang sering aku ceritakan padamu. Ini bukan kali pertama kita bertemu kan? Tetapi melaingkan pertemuan pertama kita kembali setelah aku memutuskan untuk sendiri.

Dan aku mencoba untuk memahami kembali kata-kata yang kau lontarkan itu yang mungkin tak lebih untuk sekedar menghibur hati seorang sahabatmu yang terluka. Hanya saja aku yang keburu salah paham dan mengartikannya lain. Aku terlanjur kecele dan seharusnya aku tak perlu mengundang perasaan canggung menjadi orang ketiga di antara kita. Lalu kita berpisah dengan cara yang begitu singkat dan sederhana.

Aku pulang sendirian menggunakan kendaraan umum. Kau tak mengantarkanku pulang sampai kerumah seperti biasanya, dan aku pun tak ingin meminta. Aku sudah cukup merasa bersalah memulai kesalah pahaman ini. Sepanjang jalan perasaanku hanya dipenuhi rasa tak karuan dan aku terlupa akan patah hatiku sesaat dan dihinggapi oleh patah hati yang baru.

***

"Kau tahu, aku sama sekali tidak menyangka bisa mendapatkan hatimu." Katamu berbisik ke telingaku.

Aku hanya menoleh ke arahmu sambil tersenyum tipis. Kata-kata itu sudah sering kali kau ucapkan. Dan aku sudah hampir hapal saat-saat dan suasana kau akan mengucapkannya kembali. Seperti saat kau memberikan kejutan-kejutan kecil, saat kita sedang terdiam dalam pikiran masing-masing, saat kita ingin berpisah dari sebuah pertemuan singkat, saat aku sedang menyandarkan kepalaku ke pangkuanmu dan masih banyak saat lainnya.

            Saat ini aku sedang menyandarkan kepalaku di pangkuanmu sambil menonton drama korea kesukaanku yang tak kunjung selesai aku habiskan semenjak aku mengunduhnya sekitar satu bulan yang lalu. Sedang kau memainkan ponselmu sambil bersandar di sisi tempat tidurmu yang spreinya masih tetap sama dengan sprai yang kau kenakan sekitar dua minggu yang lalu.

Kau pernah bilang kalau kau sedikit kepayahan menggati seprai tempat tidurmu yang cukup besar. Mungkin perlu setidaknya dua orang untuk menggantinya, meski sebenarnya juga bisa di lakukan seorang diri. Hanya saja aku tahu kamu cukup malas melakukan aktifitas yang harus memaksamu berputar-putar kesana kemari mencocokkan setiap sudutnya dan merapikan lipatan-lipatannya.

"Aku tidak cukup pandai melakukan hal-hal yang seharusnya di kerjakan oleh seorang perempuan." katamu seolah sedang menyindirku. Kau tertawa ngakak setelahnya.

Aku juga masih tetap tak habis pikir mengapa aku bisa menyukai seorang pria yang sama sekali bukan tipeku. Tetapi yahh perbandingan-perbandingan seperti itu sama sekali tidak bisa kau jadikan patokan. Keriteria, tipe atau apapun itu bisa kau gantungkan di benakmu, tetapi sekedarnya saja.

Hal itu mungkin akan menandakan bahwa kau memiliki pandangan dan target kedepannya. Tetapi saat kau justru terlalu berfokus kepada keriteria-keriteriamu itu, aku khawatir kau akan menjadi seorang tante-tante tua yang tak kunjung menemukan belahan jiwanya, katamu saat aku memprtanyakaan tipe cewek idamanmu. Tetapi jawabanmu sama sekali tidak membuatmu tampak keren menurutku, justru menjadikanmu sesosok lelaki yang terkesan sok tahu.

Dikarenakan aku adalah sesosok wanita yang terkadang memiliki sifat kelaki-lakian, aku berharap dipertemukan oleh seorang lelaki yang akan membuatku merasa menjadi wanita seutuhnya. Tetapi kamu justru berbeda, kau menyukaiku justru karena sifatku yang apa adanya. Kau suka caraku berbicara yang terkadang suka blak-blakan. Kau suka caraku tertawa lepas. Kau suka senyumku yang lebar memeperlihatkan gigiku yang tak rata. Kau suka tingkah-tingkahku yang terkadang kasar. Kau suka gurauan konyolku yang selalu membuatmu tertawa.

Meski sebenarnya aku sangat benci di jadikan bahan olokan, tetapi entah mengapa aku tidak mempermasalahkannya kalau itu adalah kamu. Mungkin kerena kita dulunya adalah sahabat, meski sekarang kita berjalan bergandengan tangan dan bahkan bercinta yang tak seharusnya di lakukan oleh sepasang sahabat.

Seorang sahabat yang akan selalu setia mendengarkan curahan hatiku, ocehan-ocehan bawelku, sasaran pelampiasan kesalku, dan juga penawar tangisku. Terkadang suka sok bijak, sok menggurui dan menasehati layaknya seorang ayah kepada anak gadisnya. Kamu juga seorang sahabat lelaki yang tak segan membantuku berdandan saat hendak melakukan kencan pertamaku. Karena meski malu harus aku akui, aku sama sekali tak pernah berdandan sebelumnya.

Kala itu kau tak mampu menahan tawa ngakakmu sambil berguling di sofa memegangi perutmu saat aku pertama kali muncul di hadapanmu dengan riasan wajah tebal tak karuan. Kau menawarkan diri, meski sebenarnya aku meragukanmu. Bagai mana mungkin seorang pria yang tak pernah memegang listip dan pensil alis tahu bagai mana caranya berhias.

" Kau tak boleh lupa satu hal. Aku adalah lelaki, dan orang yang akan kau kencani pun seorang lelaki. Selera lelaki biasanya tak beda jauh. Percayakan saja kepadaku. Aku akan merias wajahmu bak seorang yang profesional, bukan sebagai teman jaimmu." Katamu kala itu mencoba meyakinkanku.

Setelah aku menimbang-nimbang cukup lama, aku tak punya pilihan lain. Dari pada harus terlihat konyol di hadapan orang yang aku puja. Aku hanya bisa terdiam pasrah saat kau memoles wajahku dan memainkan rambutku. Tatapan mata kita sempat terpaku beberapa saat. Nafas kita beradu, dan kita tak pernah sedekat itu sebelumnya.  Dunia terhenti sekejap berputar pada porosnya. Waktu terhenti, cukup lama hingga kau dan aku kembali tersadar kemudian.

Kau tampak kikuk setelahnya sambil berusaha buru-buru menyelesaikan pekerjaanmu. Aku hanya bisa tercengang takjub melihat sosok yang kini berdiri di hadapan cermin. Sesosok wanita anggun yang sama sekali tak ada kesan tomboy sedikit pun. Saat itu adalah pertama kali aku merasakan menjadi wanita yang seutuhnya olehmu.

Meski itu hanya berlaku malam itu saja dan tak lama. Kencan pertamaku gagal, dia tak datang dan malah di gantikan oleh sosok lain yaitu hujan. Aku merelakan hujan menghapuskan riasan wajahku. Aku pulang dengan keadaan berantakan dan basah kuyup. Meski kencan pertamaku tak berjalan bagus, kau selalu mendukungku. Memberi dorongan untuk maju. Karenanya aku mememilih bertahan pada satu sosok pria yang jelas-jelas mengabaikan dan membuangku pada akhirnya.

Sepanjang perjalanan cintaku, kami sangat sering cekcok dan berbeda pendapat. Kami sangat jarang akur dan lebih sering bertengkar kemudian saling merindui di kala jauh. Dia terlalu posesif. Aku tak suka diberi batasan-batasan. Aku tak suka seseorang mencampuri kehidupanku meski itu adalah pasanganku. Aku perlu ruang gerak yang lebih leluasa. Aku memiliki kehidupan di mana aku terkadang perlu ruang untuk sendiri atau suatu waktu aku merasa tak ingin di usik oleh siapa pun.

Duniaku, dunianya, jelas merupakan suatu hal yang berbeda. Tetapi kami bertahan lebih lama juga berkat kau yang selalu berhasil meredam egoku hingga aku bisa lebih bersabar. Meski sebenarnya ia sempat beberapa kali melarang kita berhubungan lagi. Ia cemburu. Ia mengancam akan mencelakaimu jikala tak ku turuti kemauannya. Karena itu aku menghilang dari sisimu. Hingga aku benar-benar berada pada titik batasku ketika aku menyaksikan lelaki itu bermain di belakangku. Kesabaranku habis, aku hancur, remuk tak berbentuk. Saat itu tanpa tahu diri aku menghubugimu lagi.

Kau datang saja meski sebenarnya kau sendiri sedang sibuk. Untuk kesekian kali kau berhasil membuat air mataku kering hingga ke muaranya. Meski sebenarnya hatiku masih tetap sakit tak tertara. Kau bilang kau merindukanku, kau tak suka melihatku menagis dan akan mengisi hari-hariku dengan senyum. Kau tak akan rela membiarkan seseorang membuatku menangis lagi. Dan hari itu kau mengatakan apakah aku mauu.... perkataanmu keburu aku potong.

"Maaf Yan, aku belum bisa. Tetapi bukan berarti....." aku menjeda perkataanku.

"Haaa.. " kau melongo bingung.

"Aku... akuu.. masih butuh waktu Yan. Kalau kau memang mencintaiku kenapa kau tak pernah jujur dari dulu?"

"Mak... maksudku bukan begituu. aku ingin bertanya apakah kau mau memulai persabatann kita lagi seperti dulu?"

Aku hanya terdiam samberi menatap kearahmu. Kau tertawa kecil kemudian berusaha menghindari tatapanku. Setelahnya cukup lama kita terdiam. aku menahan malu setengah mati, dan kau menahan canggung sekuat hati. Kemudian aku pulang sendirian. Berjalan kaki sejauh yang aku bisa semberi menikmati kekecewaan. Aku tidak tahu kenapa tetapi hatiku malah kian terasa semakin remuk. Meski sebenarnya aku telah lupa lelaki itu dan juga kenyataan bahwa aku sedang patah hati. Tetapi entah kenapa aku justru semakin merasa kecewa dan sakit dari luka patah hatiku sebelumnya.

Cukup lama aku mematung di sudut kamarku yang sengaja aku padamkan lampunya. hanya sebuah lampu meja yang tetap aku biarkan menyala menemaniku dalam keremangan. Cukup lama, kemudian tiba-tiba ada pesan singkat darimu.

Aku tersenyum tanpa alasan melihat namamu terpapang di layar ponselku. Kau meminta maaf buru-buru pergi dan tak mengantarku pulang. Kau bilang kau ada rapat mendadak. Kau harus pergi meski sebenarnya kau sangat ingin membicarakan perihal perkataanku itu. Dan malam itu kau mengatakan kepadaku bahwa telah sejak lama kau menyayangiku lebih dari sekedar seorang sahabat. Meski pun mungkin tak ada yang special. Kau mengirimnya hanya melalui pesan singkat, dan aku tak perlu heran. kamu memang terlalu pengecut untuk itu.

Setelahnya kita memulai segalanya untuk mejadi sepasang kekasih, mengorbangkan ikatan persahabatan di antara kita. Dan aku tidak tahu harus menjadi apa? Menjadi orang paling beruntung atau menjadi orang yang paling bodoh. Karena kau tampaknya  tak memberi kejelasan tentang hubungan kita. Satu-satunya hal yang aku tahu kau menyayangiku, dan aku pun begitu.

Kau tak pernah bertanya apakah aku mau menjadi kekasihmu atau tidak? Kita tiba-tiba berkencan dan mengumbar kata-kata manis dan juga kemesraan di hadapan publik. Semua orang tampak iri melihat kemesraan kita. Aku bisa merasakannya lewat tatapan-tatapan yang berhamburan dari indra mereka. Tetapi aku tak mau peduli dengan orang lain, yang jelasnya aku bahagia, dan kau pun merasakan hal yang sama. Karena cinta itu soal rasa, bukan sekedar omongan. Karena cinta itu soal kesetiaan, bukan sekedar ikatan.

Ungkapan-ungkapan itu pada umumnya di pakai oleh sepasang mahluk yang tengah di mabuk cinta hanyalah sekedar simbolis belaka. Bagi mereka yang belum mengetahui perasan satu sama lainnya. Sedang kita sudah saling mengerti satu-sama lain. Lalu buat apa lagi mengucapkan kata-kata itu? Cukup lama kita berjalan berdua seperti itu, sebagai sepasang kekasih yang selalu bahagia. Mungkin sudah sekitar setahun lebih lamanya. Aku selalu ambigu jikalau harus mengingat dengan pasti kapan kita jadian? Atau mungkin kita sama sekali tak pernah jadian? ahh entahlah.

Yang pasti aku di hinggapi perasaan kosong, jenuh yang berkepanjangan. Sepanjang hubungan kita tak pernah ada masalah sekecil apa pun. Kamu tiba-tiba menjadi seorang pria yang begitu baik dan pengertian. Sedang aku berubah menjadi lembut dan penurut. Kau tak perlu heran, karena cinta terkadang memang mampu mengubah segalanya. Mengubah besi menjadi emas, mengubah waras menjadi gila, mengubah kelinci menjadi monster bahkan sanggup  mengubah sahabat menjadi musuh. 

Sepanjang perjalanan kita itu kau tak pernah sekali pun marah atau membuat aku kesal seperti yang sering kau lakukan dulu ketika kau masih berdiri disisiku sebagai seorang sahabat. Aku tak harus selalu menyapamu atau memberi tahu keadaanku selama 24 jam non stop. Aku tak harus mengurung diri di dalam kamarku ketika kau sibuk bekerja dan hampir tak memiliki waktu luang. Aku tak harus menuruti semua omonganmu, dan mendengarkan ocehanmu setiap saat. Kau terlalu memberikan aku jeda. Terlalu membiarkan aku terjebak pada ruang luas yang tak memiliki batasan. Aku bebas, meski hampa.

Aku tahu itu bukan salahmu. Kau paham aku tak suka di kekang. Kini aku jusru mengingini saat-saat seperti itu. Merindukan saat-saat yang ada seperti dulu. Aku rindu di buat marah, kesal, kecewa, bahkan menangis dengan air mata luka.  Dengan kata lain, mungkin aku merindukan patah hati yang tak pernah aku alami saat bersamamu.

Kau selalu memberikan kebahagiaan berkasih yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tetapi terlalu bahagia sehingga aku lupa bagai mana rasanya terluka hatinya. Hubungan yang seperti ini mungkin terlihat menyenangkan, tetapi sebanarnya yang justru aku rasakan hambar. Hari-hariku yang dahulu kau penuhi warna perlahan-lahan warnanya semakin terang menua dan gelap seiring waktu. Tak lama kemudian menjelma menjadi warna hitam keseluruhannya. Dan kau tahu, rasanya pengap bagai tanpa udara. 

Senja itu di hari terakhir bulan Sebtember aku kembali menyita waktumu. Aku memintamu datang setelah janji-jaji beberapa hari terakhir ini kau ingkari tanpa alasan. Aku terus-terusan mendesakmu hingga kau setuju. Aku menyaksikan kedatanganmu dari kejauhan, berjalan perlahan sambil clingak-clinguk mencari seseorang. Aku melambaikan tanganku dan kau mendekat. Sebelum sempat kau meletakkan tas ransel yang membebani punggungmu. Sebelum kau sempat menyandarkan lelah perjalananmu di bangku cafe itu, aku langsung menyergapmu dengan kata-kata yang membebani pikiranku.

"Aku ingin berpisah... emmmmh, maksudku aku ingin mengakhiri hubungan tanpa kejelasan ini. Aku ingin kita kembali bersahabat seperti dulu."

"Apakah kau pikir itu muda?" katamu sambil meletakkan tas dan melepas jaket hijau marunmu.

"Emmm, segala sesuatu itu memang tak muda ketika di jalani. Tetapi memilih bertahan ataupun memilih meninggalkan seutuhnya tentu suatu hal yang akan menjadi kannya justru semakin rumit dan tak mudah. Apakah kau lupa kita adalah sepasang sahabat? Akan membutuhkan waktu yang sangat panjang agar aku bisa melupakanmu seutuhnya. Aku yakin, kita mungkin hanya akan saling menyiksa diri"

"Baiklah. Kita jalani saja dulu. Aku kembali menjadi sahabatmu dan melupakan semua yang pernah terjadi di antara kita satu tahun terakhir ini." Katamu enteng tanpa berpikir panjang.

"Emmmmm..." aku mengangguk.

"Haruskah kita merayakannya?"

"Merayakan apa? Merayakan keputusan kita atau kembalinya persahabatan kita?"

"Dua-duanya." katamu setegah berbisik ke kupingku.

***

Malam yang kau janjikan dan kita sepakati telah tiba. Kali ini aku merias wajahku sendiri. Tak begitu buruk menurutku. Aku telah cukup sering berhias seorang diri dan tanpa di bantu olehmu. Hasilnya tak mengecewakan. Aku membiarkan rambutku tergurai setelah memolesnya sedikit memberikan efek melengkung pada ujugnya yang kemerahan akibat pirang. Aku menggunakan gaun pendek berwarna biru metalik dengan perpaduan warna putih. Aku tahu itu adalah salah satu warna perpaduan kesukaanmu, meski kau sebenarnya tidak begitu menyukai warna biru.

Cukup lama aku memandangi jam ding-ding bergantian dengan arloji kecil di lenganku yang seolah sepakat kompak melambatkan waktu. Sesekali aku memandang keluar ke halaman, untuk memastikan kalau kau datang lebih cepat. Aku menyadari kaca jendela kamarku sedikit berembun, di luar sana gerimis sedang turun. Batinku resah. Aku dirundung kecemasan dalam penantian. 

Pukul 21.31, gerimis masih saja turun. Tak kunjung deras atau pun berhenti. Tentu aku tidak mengharapkan agar gerimis berganti hujan. Tetapi jikala itu satu-satunya cara agar gerimis redah, tak apa jikalau harus turun sebentar lalu kemudian berhenti. Rasa kesal dan kecewa perlahan menyelinap menggelitik perasaanku. Rambutku yang tadinya tergerai kini aku kepang satu sambil memamerkan wajah murung di depan cermin meja riasku. Aku sudah cukup bosan berteman sepi ditambah lagi dalam penantian. Berkali-kali aku mencoba menghubungimu lewat ponselmu, namun tak pernah kau jawab. Pesan singkat yang aku kirim kau perlakukan sama.

Beberapa menit kemudian kau datang dengan dibalut jas hujan warna kuning trasparan yang memperlihatkan seragam kerja yang masih kau gunakan.

"Maaf, aku telat menjemputmu. Tadi ada meeting mendadak di kantor." katamu dengan ekpresi wajah yang kelelahan.

Aku tak menanggapi ucapanmu, selain menyambar tasku dan bergegas keluar kemudian di ikuti olehmu. Sesaat aku berhenti di depan teras. Tanganku sengaja kujulurkan keluar untuk menangkap sisa-sisa gerimis yang masih turun. Kau bergegas keluar menuju motormu dan kembali dengan menyodorkan jas hujan berwarna cream. Aku tak bereaksi apa-apa, kecuali mengambil jas hujan yang kau sodorkan dan memakainya.

Setelahnya kita melaju pelan menembus gerimis hujan yang gigil. Meski kau melambatkan laju kendaraanmu untuk berhati-hati melalui jalan beraspal yang licin, kini waktu mengalir cepat mengantarkan kita ke arah suatu tempat yang kita tuju. Kerlap-kerlip kemilauan cahaya warna-warni menyambut kedatangan kita. Ramai orang-orang berdatangan ke tempat itu tak peduli keadaan langit yang kurang bersahabat. Sebagian ada yang membiarkan badan dan pakaian mereka kebasahan, sebagain juga mengenakan jas hujan sama seperti kita. Mungkin karena kita memang menyadari bahwa meskipun itu hanya sebuah hujan gerimis kecil, tetapi ia juga memiliki tujuan yang sama dengan hujan lebat yang memiliki bulir-bulir air yang lebih besar dan membuat kita basah.

Kau melepas jas hujan milikmu kemudian masuk dan di ikuti olehku. Dentuman-dentuman musik yang mengalun menyambut kedatangan kita. Orang-orang ramai menari berpasang-pasangan membuatku kesulitan untuk menyusul langkahmu. Kau tampak tak memperdulikan aku, dan aku pun tak mau peduli selain mengikutimu saja.

Kau berjalan mendekati sekelompok orang yang berseragam rapi di salah satu pojok ruangan bar ini. Satu persatu kau menyalami mereka dengan penuh ke akraban. Garis-garis diwajah mereka tampak sama sepertimu, penuh dengan guratan-guratan keletihan. Aku pikir mereka adalah teman-teman satu kantormu, dan ternyata aku benar. Kau memperkenalkan aku kepada mereka.

 "Oh Yaa, semuanya kenalin ini Vennty sahabatku." Katamu sambil menarik aku mendekat.

Mereka semua menyambut hangat sebelum kamu dan mereka kembali larut dalam percakapan-percakan bullshit dan mengacuhkanku. 

"Inikah caramu merayakan sesuatu? 

"Seharusnya hanya ada aku dan kamu? Lalu ada apa dengan mereka?"

"Seharusnya aku tak perlu datang kesini? jikalau aku hanya akan kau acuhkan?'

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini terus memenuhi isi kepalaku, dan kau tetap larut dalam candaan bersama mereka.

***

Kau tampak terlihat sangat bahagia. Aku tahu dari pancaran wajahmu yang mengumbar senyum kepada setiap tamu undangan yang datang. Senyuman yang selama ini jarang kau tampakkan kepada selain aku. Senyuman yang begitu tulus, bersih sehingga memancarkan aura positif di wajahmu yang kian rupawan di balut kemeja putih dan jas pengantin. Kau tak pernah terlihat seramah ini sebelumnya ketika menyalami satu-persatu tamu undangan yang datang memberi selamat. 

Dan kau tahu, aku bahagia. Mungkin bukan sekedar bahagia tetapi sangat bahagia. Hari yang selama ini aku dan kau impikan kini pada akhirnya terwujud. Meskipun aku sama sekali tak menyangka bahwa pada kenyataannya kau mendahuluiku dengan seseorang yang kini duduk bersanding denganmu. Keyakinan yang terdapat pada diriku dari malam perayaan keputusan kita kini memudar seketika. Saat perjalanan pulang mungkin kau sedikit kepayahan menghiburku. Tetapi segala ocehanmu meskipun kau dalam keadaan sedikit mabuk tak satupun aku lewatkan.

Salah satunya saat kau memintaku untuk bersikap biasa-biasa saja seolah tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku menyanggupi hingga pada saat ini. Bahkan aku melangkah dengan penuh rasa hangat menghamburkan pelukan kearah kamu dan istrimu di pelaminan. Dan aku sangat yakin kau memahami itu. Kau juga memintaku untuk menjadi seorang wanita yang tegar. Dan sampai kini pun aku masih berdiri kokoh. 

Perlu bukti? Aku rasa tak perlu. Kau cukup pertanyakan saja kepada orang-orang di sekelilingmu bahwa wanita mana yang masih tetap kokoh menjalankan persahabatan dengan mantan kekasihnya? Bahkan mendampinginya mendapatkan wanita yang di inginkan sampai ke pada proses pernikahan. Aku rasa jikalau ia hanya seorang wanita biasa, ia tak akan sanggup dan telah lama hacur.

Ada satu hal lagi yang mungkin sedikit berkesan di antara semua obrolanmu itu. Kau meminta tak ada salah satu pun di antara kita yang boleh menjalin hubungan dengan seseorang sampai salah seorang di antara kita menikah. Tanpa ada melalui suatu proses yang bernama pacaran. Seseorang yang kalah atau yang belum menikah harus mencari pacar setelahnya, dan menikah dengannya. Kita akan lihat, manakah yang akan bertahan lebih lama. Mungkin terdengar konyol menjadikan pernikahan sebagai bahan taruhan. Tetapi yang pasti aku sepakat denganmu dan menyanggupinya. 

Seusai meriahnya pesta pernikahanmu itu. Aku kembali merayakan sesuatu untuk diriku sediri. Ditegah kerlap-kerlip kilauan warna cahaya, suara bising musik  bar dan keramaian orang-orang yang mencari hiburan malam. Aku membuat pestaku sendiri di temani oleh beberapa botol minuman yang telah tandas kosong. Aku kembali merayakan patah hatiku yang sesungguhnya.

Dan setelahnya, aku ingin kembali jatuh cinta. Lalu patah hati berkali-kali pada orang yang sama. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun