"Haruskah kita merayakannya?"
"Merayakan apa? Merayakan keputusan kita atau kembalinya persahabatan kita?"
"Dua-duanya." katamu setegah berbisik ke kupingku.
***
Malam yang kau janjikan dan kita sepakati telah tiba. Kali ini aku merias wajahku sendiri. Tak begitu buruk menurutku. Aku telah cukup sering berhias seorang diri dan tanpa di bantu olehmu. Hasilnya tak mengecewakan. Aku membiarkan rambutku tergurai setelah memolesnya sedikit memberikan efek melengkung pada ujugnya yang kemerahan akibat pirang. Aku menggunakan gaun pendek berwarna biru metalik dengan perpaduan warna putih. Aku tahu itu adalah salah satu warna perpaduan kesukaanmu, meski kau sebenarnya tidak begitu menyukai warna biru.
Cukup lama aku memandangi jam ding-ding bergantian dengan arloji kecil di lenganku yang seolah sepakat kompak melambatkan waktu. Sesekali aku memandang keluar ke halaman, untuk memastikan kalau kau datang lebih cepat. Aku menyadari kaca jendela kamarku sedikit berembun, di luar sana gerimis sedang turun. Batinku resah. Aku dirundung kecemasan dalam penantian.Â
Pukul 21.31, gerimis masih saja turun. Tak kunjung deras atau pun berhenti. Tentu aku tidak mengharapkan agar gerimis berganti hujan. Tetapi jikala itu satu-satunya cara agar gerimis redah, tak apa jikalau harus turun sebentar lalu kemudian berhenti. Rasa kesal dan kecewa perlahan menyelinap menggelitik perasaanku. Rambutku yang tadinya tergerai kini aku kepang satu sambil memamerkan wajah murung di depan cermin meja riasku. Aku sudah cukup bosan berteman sepi ditambah lagi dalam penantian. Berkali-kali aku mencoba menghubungimu lewat ponselmu, namun tak pernah kau jawab. Pesan singkat yang aku kirim kau perlakukan sama.
Beberapa menit kemudian kau datang dengan dibalut jas hujan warna kuning trasparan yang memperlihatkan seragam kerja yang masih kau gunakan.
"Maaf, aku telat menjemputmu. Tadi ada meeting mendadak di kantor." katamu dengan ekpresi wajah yang kelelahan.
Aku tak menanggapi ucapanmu, selain menyambar tasku dan bergegas keluar kemudian di ikuti olehmu. Sesaat aku berhenti di depan teras. Tanganku sengaja kujulurkan keluar untuk menangkap sisa-sisa gerimis yang masih turun. Kau bergegas keluar menuju motormu dan kembali dengan menyodorkan jas hujan berwarna cream. Aku tak bereaksi apa-apa, kecuali mengambil jas hujan yang kau sodorkan dan memakainya.
Setelahnya kita melaju pelan menembus gerimis hujan yang gigil. Meski kau melambatkan laju kendaraanmu untuk berhati-hati melalui jalan beraspal yang licin, kini waktu mengalir cepat mengantarkan kita ke arah suatu tempat yang kita tuju. Kerlap-kerlip kemilauan cahaya warna-warni menyambut kedatangan kita. Ramai orang-orang berdatangan ke tempat itu tak peduli keadaan langit yang kurang bersahabat. Sebagian ada yang membiarkan badan dan pakaian mereka kebasahan, sebagain juga mengenakan jas hujan sama seperti kita. Mungkin karena kita memang menyadari bahwa meskipun itu hanya sebuah hujan gerimis kecil, tetapi ia juga memiliki tujuan yang sama dengan hujan lebat yang memiliki bulir-bulir air yang lebih besar dan membuat kita basah.