Salah satunya saat kau memintaku untuk bersikap biasa-biasa saja seolah tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku menyanggupi hingga pada saat ini. Bahkan aku melangkah dengan penuh rasa hangat menghamburkan pelukan kearah kamu dan istrimu di pelaminan. Dan aku sangat yakin kau memahami itu. Kau juga memintaku untuk menjadi seorang wanita yang tegar. Dan sampai kini pun aku masih berdiri kokoh.Â
Perlu bukti? Aku rasa tak perlu. Kau cukup pertanyakan saja kepada orang-orang di sekelilingmu bahwa wanita mana yang masih tetap kokoh menjalankan persahabatan dengan mantan kekasihnya? Bahkan mendampinginya mendapatkan wanita yang di inginkan sampai ke pada proses pernikahan. Aku rasa jikalau ia hanya seorang wanita biasa, ia tak akan sanggup dan telah lama hacur.
Ada satu hal lagi yang mungkin sedikit berkesan di antara semua obrolanmu itu. Kau meminta tak ada salah satu pun di antara kita yang boleh menjalin hubungan dengan seseorang sampai salah seorang di antara kita menikah. Tanpa ada melalui suatu proses yang bernama pacaran. Seseorang yang kalah atau yang belum menikah harus mencari pacar setelahnya, dan menikah dengannya. Kita akan lihat, manakah yang akan bertahan lebih lama. Mungkin terdengar konyol menjadikan pernikahan sebagai bahan taruhan. Tetapi yang pasti aku sepakat denganmu dan menyanggupinya.Â
Seusai meriahnya pesta pernikahanmu itu. Aku kembali merayakan sesuatu untuk diriku sediri. Ditegah kerlap-kerlip kilauan warna cahaya, suara bising musik  bar dan keramaian orang-orang yang mencari hiburan malam. Aku membuat pestaku sendiri di temani oleh beberapa botol minuman yang telah tandas kosong. Aku kembali merayakan patah hatiku yang sesungguhnya.
Dan setelahnya, aku ingin kembali jatuh cinta. Lalu patah hati berkali-kali pada orang yang sama. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H