Yaya," jawabku.
Jeni langsung menutup telepon tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Tapi ya sudahlah, toh aku juga tidak suka dengan orang yang sok basa-basi.
Setelah itu aku langsung ke kamar mandi berwudhu untuk shalat subuh, tak peduli meski matahari sudah keluar dari singgasananya.
Baru saja salam terakhir kuselesaikan, Jeni datang dengan senyum sok manisnya.
"Woi! Shalat apaan coy? Salat dhuha? Masih kepagian kali, hahaha Tawa Jeni sangat menusuk sanubariku. Dia tidak tahu mengapa aku sampai telat bangun untuk shalat subuh. Itu karena aku harus menyelesaikan tugasnya juga. Kalau cuma tugas aku aja, mungkin aku tidak akan begadang tadi malam dan aku tidak akan bangun kesiangan begini. Itu semua gara-gara dia. Tapi, aku harus rela dan ikhlas karena aku tidak bisa melakukan itu. Jadi kapan aku bisa bebas dari dia? Kapan?
"Nggak usah sok bingung dech! Oh ya flashdisc gue mana? tanya Jeni menyentakkan lamunanku. Â Gue mau nge-print nich!
"Datanya belum kupindahkan. Masih dalam laptop. Semalam nggak sempat," kataku pada Jeni. Aku berharap dia mengerti penjelasanku.
"Belum dipindahin? Ngapain aja lo semalaman? Main game ? Ya udah, sini gue pindahin. Mana flashdisc-nya? Jeni terlihat sangat kesal.
Titi yang sedari tadi berdiri di pintu, hanya geleng-geleng kepala. Mengurut dada.
***
Ti, aku duluan ya," teriakku pada Titi sambil menyambar flashdisc yang ada di atas lemariku.