Di tengah era digitalisasi ini, transaksi non tunai melalui media teknologi telah menjadi tren dunia. Tren itu tentunya juga hadir dalam dinamika keuangan di Indonesia. Pemerintah kini gencar mengampanyekan suatu gerakan yang bernama Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).Â
Gerakan ini memiliki tujuan agar dapat menumbuhkan budaya less cash society. Artinya, masyarakat lebih sedikit menggunakan uang tunai dan beralih menggunakan transaksi non tunai. Sebagai generasi millennial, saya mendukung gerakan tersebut.Â
Tulisan ini ingin mengajak readers untuk mewujudkannya juga. Kalian ingin tahu bagaimana mewujudkannya? Izinkan saya untuk menceritakan pengalaman saya melakukan transaksi non tunai terlebih dahulu.
Pengalaman Penulis Melakukan Transaksi Non Tunai
Transaksi non tunai itu banyak medianya. Saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar. Apabila kalian ingin tahu mengenal transaksi non tunai, saya merekomendasi link ini yang sekiranya dapat kalian jadikan referensi.Â
Sedikit penjelasan, alat pembayaran non tunai itu terdiri dari alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. Pada tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman saya dalam melakukan transaksi pembayaran menggunakan uang elektronik berupa T-cash dan e-money.
Ketika saya masih duduk di bangku SMA, media Telkomsel-cash (T-cash) tengah menjadi tren di masyarakat. Ada beberapa teman dekat saya yang merupakan pengguna T-cash di antaranya. Suatu hari, salah satu teman mengajak saya dan geng pergi ke bioskop untuk menonton film dengan promo buy one get one T-cash. Bagi saya, promo itu cukup menggoda sehingga saya meng-iya-kan ajakan tersebut.Â
Kami saling bahu-membahu sehingga per anak hanya perlu membayar setengah harga saja. Bagi saya yang tidak memiliki T-cash dan bahkan tidak pernah melakukan transaksi non tunai seperti menggunakan kartu kredit, hal ini merupakan sebuah kesempatan untuk mempelajari cara transaksi yang baru.
Bagi saya, proses transaksi non tunai terasa cepat dan mudah. Prosesnya sederhana. Kala itu T-cash yang kami pakai berbentuk stiker NFC sehingga cara pembayarannya hanya perlu menempelkan stiker ke alat EDC khusus. Proses ini tentu berbeda dengan pembayaran debit karena kita tidak memerlukan pin untuk keperluan proses pembayaran. Saldo T-cash akan terpotong secara otomatis sesuai harga yang dibayar, setelah itu kita tidak lagi mendapat uang kembalian. Alhasil, proses transaksi menjadi lebih hemat waktu.
Pengalaman tersebut cukup menarik, saya masih belum tergerak untuk segera membuat alat itu. Bahkan setelah saya mengetahui promo menarik lainnya, saya masih merasa enggan. Alasannya singkat, saya tidak memiliki memiliki tuntutan yang signifikan untuk menggunakannya.Â
Awal mula saya membiasakan diri menggunakan uang elektronik ialah ketika saya menduduki bangku perkuliahan. Hampir setiap hari saya melakukan perjalanan pulang-pergi menggunakan commuter line. Mau tidak mau, saya mengikuti mekanisme pembayaran yang ada yaitu secara non tunai.
Pilihan medianya ada tiga, yaitu karu harian berjaminan (THB), e-money dan kartu multi trip (KMT). Saya lebih memilih menggunakan dua di antaranya yaitu e-money dan KMT karena kedua kartu ini dapat menyimpan sejumlah uang sehingga saya tidak perlu bolak balik isi ulang setiap melakukan perjalanan. Kedua kartu ini tidak sama. Kartu multi trip tidak dapat digunakan secara fleksibel daripada e-money.Â
Kartu multi trip hanya dapat digunakan untuk melakukan perjalanan menggunakan commuter line saja, sedangkan e-money dapat digunakan untuk melakukan perjalanan commuter line, perjalanan transjakarta, membeli snack di vending machine, membayar tol dan lain-lain.
Sebuah Angan, Menjelajah Negara Cashless Society
Berbeda dengan less cash society, bisa dibilang cashless society merupakan tingkat lanjutannya di mana transaksi non tunai hampir secara keseluruhan digunakan dalam proses bertransaksi. Saya ingin pergi menjelajah beberapa negara yang bisa dibilang sukses dengan budaya cashless society. Tidak secara nyata, hanya dipikirkan lewat angan-angan sambil menyambungkannya dengan beberapa fakta yang ada.
Salah satu negara yang saya jelajahi adalah negara Swedia. Kenapa harus negara Swedia? Karena pada faktanya, Swedia memiliki angka penggunaan uang elektronik tertinggi di dunia. Dilansir dalam situs moneysmart.id, sekitar 99 persen masyarakat Swedia sudah meninggalkan transaksi tunai. Sangat mengagumkan, bukan? Namun tentu saja transaksi tunai masih hadir di negara itu, hanya saja tingkat penggunaannya tidak lebih dari 2 persen. Tidak heran, bahkan sekadar toilet umum saja pembayarannya dilakukan melalui non tunai.
Transportasi umum di Swedia juga menggunakan transaksi non tunai. Kabanyakan transportasi umum di sana memakai kartu khusus yang berlaku untuk kereta, bus, dan tram di satu wilayah. Cara top up-nya dapat dilakukan dengan cash maupun debit/kredit. Mesinnya terletak di setiap stasiun. Cara lainnya yang menurut saya menarik dan efesien adalah pembelian tiket lewat aplikasi di smartphone.Â
Tiket yang kita beli nantinya akan berbentuk QR code di smartphone, setelah itu tiket di-scan pada QR reader yang ada di dalam bus maupun alat yang dibawa oleh kondektur di dalam kereta. Sistem pembayaran tersebut juga diterapkan pada sistem pembayaran tiket di bioskop. Berbelanja di supermarket dilakukan secara mandiri dengan cara self-scanning.
Aplikasi pembayaran yang paling populer di Swedia adalah Swish. Transaksi pembayaran dilakukan melalui nomor telepon pengguna yang terhubung dengan akun rekening Bank yang terkoneksi dengan Swish. Pemakaiannya berlaku pada tempat-tempat seperti restoran, kedai kopi, street food, dan bahkan di tempat pangkas rambut. Swish juga memiliki sistem pembayaran shared-expense. Singkat, sistem itu sama saja seperti patungan di Indonesia, namun dilakukan secara non tunai melalui perangkat digital.
Mari kita berpindah negara. Kalau kalian ingin tahu lebih banyak lagi, kalian dapat mengakses link ini. Kali ini saya pindah ke negara Perancis. Keunikan negara ini terletak pada perangkat elektroniknya yang inovatif. Perangkat itu bernama contactless payment dan digital wallets. Layaknya seperti e-money, sistem pembayaran contactless payment tidak memerlukan pin dalam proses pembayaran dan digunakan untuk pembayaran pembayaran bernilai rendah.Â
Cara penggunaannya unik, cukup dengan melambaikan kartu atau telepon seluler melalui alat berupa terminal pembayaran. Beralih ke digital wallets, alat ini juga sangat unik karena penggunaannya yang hanya perlu memasukkan ID seperti nomor ponsel atau alamat surat elektronik) dalam bertransaksi.Â
Transaksi dilakukan melalui internet tanpa memasukkan data yang bersifat sensitif (misalnya payment card number, expiry date, dan visual cryptogram). Data itu hanya dimasukkan sekali, yaitu pada saat kita membuat akun digital wallets.
Sebagai generasi milenial yang tinggal di negara less cash society seperti saya ini, budaya cashless society di kedua negara itu terlihat asing. Wajar, saya belum berada pada proses pembiasaan dengan budaya cashless society dengan lingkungan seperti di kedua negara tersebut. Di sisi lain, saya yakin bahwa saya dapat beradaptasi dengan sistem tersebut.Â
Besar keinginan saya untuk memiliki pengalaman baru dan bahkan beradaptasi dengan budaya cashless society bersama inovasi teknologinya yang mengagumkan. Rasanya negara Indonesia masih butuh mengejar ketertinggalannya.
Walaupun masih memiliki ketertinggalan, usaha-usaha yang dilakukan pemerintah patut untuk diapresiasi. Perkembangan penggunaan transaksi non tunai di Indonesia juga terus meningkat secara signifikan. Saya yakin Indonesia mampu mewujudkan budaya less cash society, setidaknya berada pada tahap itu terlebih dahulu.Â
Baru lah selanjutnya Indonesia melanjutkan budaya itu ke tahap baru yaitu cashless society. Mungkin saja, di masa depan Indonesia juga dapat menciptakan teknologi inovatif yang dapat mengefisiensi transaksi keuangan.
Membudayakan Less Cash Society Lewat Pembiasaan
Mari kita sudahi penjelajahan ini, mendarat kembali ke tanah air tercinta. Ada satu hal yang tersisa dari pengalaman dan angan telah saya curahkan, yaitu sebuah 'PR' untuk membenahi budaya less cash society di Indonesia.Â
Pengalaman dan angan itu juga sekaligus memberikan inspirasi bagi saya sebagai jawaban terhadap 'PR' itu. Jawaban itu adalah mencoba mencari pengalaman baru dalam melakukan transaksi non tunai dan melakukan proses pembiasaan.
Kita tidak akan benar-benar paham suatu hal secara mendalam apabila belum pernah memiliki pengalaman. Pengalaman adalah guru dalam kehidupan. Jumlah edukasi dan publikasi dalam menyuarakan less cash society mungkin tidak dapat kita hitung berapa banyaknya. Budaya tersebut tidak dapat terwujud apabila tidak ada dukungan masyarakatnya.Â
Setidaknya kita harus melakukan mencoba pengalaman-pengalaman baru, misalnya mencoba melakukan perjalanan menggunakan transjakarta atau mungkin hanya sekadar membeli jajanan di minimarket terdekat menggunakan kartu e-money. Setidaknya kita pernah melakukan transaksi non tunai di negara sendiri, mengingat negara-negara maju sudah dengan pesatnya beralih menggunakan transaksi non tunai. Pengalaman ini akan lebih bernilai lagi apabila selanjutnya kita dapat meneruskannya hingga menjadi suatu kebiasaan.
Dari pengalaman yang saya miliki, saya mulai terbiasa melakukan transaksi non tunai karena saya tidak memiliki pilihan lain setiap kali ingin melakukan perjalanan menggunakan commuter line. Mekanisme tersebut telah menjadikan uang elektronik sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya. Ini lah strategi pemerintah yang menurut saya efektif menggerakkan masyarakat.Â
Sama halnya dengan strategi itu, saya pikir ada satu cara yang mungkin dapat efektif menggerakkan masyarakat menggunakan uang elektronik, yaitu membuat gerakan pembayaran non tunai di kantin-kantin sekolah dengan fasilitas yang memadai. Saya rasa hal ini tidak masalah karena anak zaman sekarang sudah akrab dengan kemajuan teknologi. Tidak heran, mereka adalah bagian dari generasi milenial.Â
Harapannya, dengan adanya mekanisme ini mereka dapat memiliki kebiasaan dalam melakukan transaksi non tunai. Apalagi banyak dari mereka jajan di kantin setiap harinya.
Saya memang mendukung budaya less cash society di Indonesia, namun saya masih memiliki beberapa keluhan berupa hal-hal yang perlu diperhatikan pemerintah seperti regulasi mengenai uang elektronik dan masih banyak lagi. Saya berharap tulisan ini dapat menjadi inspirasi atau bahkan solusi bagi para pembaca yang juga mendukung budaya less cash society.Â
Maka dari itu, melalui tulisan ini saya mengajak kepada semua generasi yang ada khususnya generasi milenial untuk mewujudkan budaya less cash society lewat pengalaman dan pembiasaan dalam bertransaksi non tunai mulai dari diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H