Dalam konflik Rusia-Ukraina hari ini, Cina memiliki pengaruh yang tidak kalah besar dibandingkan Amerika. Secara hubungan ekonomi, Cina merupakan kolega dekat Rusia. Pun secara ideologi, keduanya masih sama-sama bertahan dengan paham Komunis.
Sederhananya, Cina tentu menjadi salah satu kekuatan baru yang tidak akan terbendung bila akhirnya memutuskan untuk terlibat langsung mendukung koleganya Rusia. Sialnya, tidak sedikit pula negara-negara anggota UE yang bermitra dengan Cina dalam beberapa projek mega-investasi. Â Kerjasama tersebut setidaknya mampu memecah konsentrasi negara anggota UE yang berniat untuk mendukung Ukraina.
Pada tahun 2016, fakta sejarah sudah membuktikan hal tersebut. Tatkala Uni Eropa menyatakan kesepakatannya untuk menentang tindakan Cina yang mengklaim 80% wilayah Laut Cina Selatan, Cina mengambil sikap diplomatis keras dengan melayangkan ancaman untuk mencabut secara langsung investasi mereka di negara-negara UE. Hasilnya adalah konsentrasi tersebut pecah dan negara yang bermitra investasi dengan Cina akhirnya menarik dukungannya kembali.
Dengan kondisi ini, setidaknya posisi Cina akan memberikan dukungan ganda bagi Rusia. Dukungan sebagai rekan ekonomi dan se-ideologi yang kuat secara ekonomi dan militer, juga dapat mengunci pergerakan Uni Eropa apabila negara anggotanya seperti Jerman, Italia, dan Prancis memberikan dukungan langsung kepada Ukraina sebagai representasi UE.
Bagaimana dengan NATO?
Perjanjian ini sebenarnya muncul atas dasar ketakutan negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan negara lainnya atas trauma sejarah pada tahun 1939. Pun kemudian organisasi yang berwujud perjanjian ini kemudian didirikan pada 1949 untuk mengimbangi pengaruh Blok Timur yang digagas oleh Soviet yang juga dikenal dengan Pakta Warsawa.
Sejak berakhirnya perang dingin (Cold War) yang ditandai dengan runtuhnya Soviet pada 1991, Pakta Warsawa yang diprakarsai Rusia kemudian membubarkan diri. Namun di sisi lain, NATO tetap eksis hingga saat ini hingga berjumlah 30 negara anggota yang di dominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Maka pertanyaannya, kalau Pakta Warsawa sudah bubar, mengapa NATO tidak juga bubar?
Pertanyaan ini kemudian dapat kita jawab dengan melihat kemampuan militer negara-negara anggotanya. Di antara seluruh negara anggota tersebut, hanya AS, Prancis, Italia, Turki, dan Inggrislah yang memiliki kekuatan militer terkuat. Kekuatan tersebut dapat kita takar sejak peristiwa PD-2 dimana tidak sedikit negara-negara bagian Eropa yang dapat dengan mudah ditundukkan oleh NAZI, bahkan Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun, ditaklukkan oleh NAZI melalui serangan petir atau Blietzkrieg dalam tempo 4 hari.
Pada masa PD-2 kita bisa melihat bagaimana kelima negara ini harus bersatu demi mengimbangi kekuatan Rusia yang memang pada saat itu masih tergabung dalam Uni Soviet. Artinya adalah, meskipun berjumlah 30 negara anggota, bisa dibilang hanya lima negara yang mampu diperhitungkan kekuatannya seandainya konflik ini mengalami peningkatan eskalasi.
Atas dasar kondisi tersebut maka NATO hari ini bukan lagi sebagai organisasi yang didirikan demi menghadang pengaruh Blok Timur di dunia. NATO hari ini bisa dikatakan sebagai malaikat pelindung bagi negara-negara anggota yang kemampuan militernya tergolong lemah dan sedikit. Hal ini terbukti dari bagaimana Trump saat menjabat menjadi presiden Amerika mendesak Uni Eropa dan negara anggota NATO untuk meningkatkan iuran keamanan yang awalnya 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per negara, menjadi 4%.
Tak pelak situasi ini sempat menjadi pembicaraan pelik antara US dan negara anngota NATO lainnya. Kekesalan Donal Trump tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. Trump menyatakan permintaan tersebut karena sampai tahun 2018, sebesar 70% biaya operasional NATO masih ditanggung oleh Amerika. Maka dari persentase angka, 29 negara lainnya hanya mampu menyokong 30% biaya operasional tersebut.