Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Paska Wasior Berdarah

22 Maret 2016   18:52 Diperbarui: 22 Maret 2016   19:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun warga tinggalkan Ambumi, tak berani kembali. Sebagian menetap satu tahun di pulau Yerenusi, 20 menit berperahu dari Ambumi. Mereka tinggal seadanya, beratap daun kelapa tanpa dinding. Sekembali ke Ambumi, kampung terbagi dua: Ambumi dan Yerenusi. Yerenusi menjadi kampung baru di Ambumi, karena mereka datang dari pengungsian di Pulau Yerenusi. Tidak ada bantuan dari pemerintah, hanya alam yang melindungi dan beri hidup.

Peristiwa Wasior Berdarah kini diperingati di Teluk Wondama setiap tanggal 13 Juni. Tetapi peringatan tersebut bukan untuk pengakuan dan reparasi hak-hak korban, yang sampai saat ini masih dilupakan. Peringatan tersebut ditujukan sebagai hari pengampunan “kesalahan masyarakat dan TPN-OPM”. Alasan yang sukses dijadikan kambing hitam untuk menyebar teror ketakutan, sebuah senjata pamungkas kuasa NKRI terhadap Papua.

Kerugian material sampai sekarang tidak ada yang mengganti. Hanya sebuah gereja baru yang berdiri dibangun pemerintah sebagai ganti sekaligus pelipur lara. Tidak ada pengakuan atas kejahatan yang dilakukan negara pada ratusan orang yang terpaksa pindah tinggal dan mengungsi.

Kasus Wasior adalah salah satu kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang diputuskan oleh penyelidikan Komnas HAM. Tapi sampai sekarang tak terdengar upaya peradilannya. Berkas-berkas saling lempar antara KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung karena alasan-alasan administratif. Tahun lalu terdengar kabar bahwa pemerintah akan memilih jalan rekonsiliasi.

Mama Jo Warikar, yang mesti berpisah dari suaminya selama berbulan-bulan karena dicari aparat, mengatakan: “Kami membangun rumah kembali dengan keringat sendiri. Sampai saat ini pun masih ada Mama yang masih tinggal di Balai Kampung dan menumpang pada keluarga dekat. Kami belum menyerah, komunitas korban belum lelah menuntut keadilan. Walau trauma ini menyakitkan, tetapi kami tidak takut.”***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun