Ada sekitar 110 KK tinggal di Ambumi, terbagi menjadi dua kampung pasca peristiwa 2001. Keduanya termasuk dalam Distrik Kuriwamesa. Ambumi terkenal karena memiliki dusun buah, seperti langsat dan cempedak, juga dusun sagu. Dusun-dusun itu tak lagi produktif seperti sebelum peristiwa 2001.
Aliran dana dari program PNPM-Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) juga mengubah kebudayaan masyarakat kampung menjadi tidak produktif: menunggu dan mengkonsumsi. Ketegangan antar dua kampung juga dipicu oleh dana-dana bantuan; masyarakat dibuat saling curiga, kepedulian antar sesama dirusak. Bobo, minuman keras lokal, menjadi bisnis sampingan yang memperburuk relasi sosial.
Tinggal segelintir warga yang masih rajin mengembangkan kebun, dan mencari ikan atau udang, yang lain hidup dari menunggu aliran dana bantuan turun. Masyarakat Ambumi yang hidup dari menebar jaring dan Molo ikan, kini kalah bersaing di pasar dengan jejaring nelayan Buton yang lebih kuat modal dan pengalaman.
Mama Sambesi, pernah menjadi satu-satunya perempuan Komin (istilah untuk orang asli Papua) yang memiliki kedai besar di Ambumi. Bersama suaminya, seorang lelaki Buton yang sangat simpatik pada perjuangan orang-orang Papua asli, ia mengembangkan usaha dagang yang cukup sukses di Wasior. Kiosnya habis dibakar tentara, setelah isinya dijarah terlebih dahulu. “Tidak ada ganti rugi dari pemerintah sama sekali, sampai sekarang saya tidak bisa bangun kios lagi. Rasanya seperti kehilangan hidup dan harga diri, saya tak punya apa-apa lagi.” Mama Sambesi mengenang peristiwa penyerangan di hari celaka itu.
Mayoritas anak-anak Ambumi besar di pengungsian, tak sedikit di antara mereka baru bertemu keluarga setelah beberapa bulan kocar-kacir melarikan diri, dan ditampung oleh orang-orang yang perduli. Tak banyak yang mau menampung orang-orang Ambumi di kampung-kampung terdekat. Aparat keamanan telah lebih dulu menyebar berita teror bahwa pelaku pembunuhan 5 aparat Brimob pada 13 Juni 2001 berhubungan dengan orang-orang Ambumi dan Wombu.
***
Penyisiran dan serangan dilakukan pada pagi hari, beberapa hari setelah penembakan 13 Juni 2001, sesaat sebelum masyarakat melaksanakan ibadah Minggu. Ambumi dikepung dari laut, tembakan pecah dari berbagai pejuru. Masyarakat kocar kacir, lari mengungsi kemanapun dengan cara apapun.
Penyisiran dilakukan karena pada 13 Juni, 5 anggota Brimob penjaga Logpond PT. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Wondiboi, Wasior, diketemukan tewas dini hari. Tak satupun warga terdekat di lokasi tahu persis apa yang terjadi saat itu, mayat aparat pun tak mereka ketahui. Lokasi langsung diisolasi dan berita bercampur rumor, yang menuding bahwa TPN-OPM ada di balik penyerangan itu, menyebar secepat kilat ke seluruh penjuru Wasior.
Masyarakat dijadikan sasaran amuk para brigadir bersenjata. Mencari TPN-OPM dengan membongkar rumah, membakar tempat ibadah, mengejar semua yang hidup dan tampak mencurigakan, menyiksa, dan membunuh.
Wasior diisolasi. Para pengungsi menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing hingga ke Bintuni, Kaimana, Manokwari, Nabire, dan Serui. Para pengungsi dipaksa hidup berbulan di Dusun Sagu, di dalam hutan; makan seadanya; melahirkan sebisanya. Orang-orang dibuat saling tuduh dan curiga.
Peristiwa ini terjadi berangkaian sejak Maret 2001 hingga Oktober 2001. Terdapat 4 kasus pembunuhan; 39 kasus penyiksaan termasuk yang menimbulkan kematian; 1 kasus perkosaan; dan 5 kasus penghilangan paksa, ditambah kematian dan penyakit selama pengungsian serta kehilangan dan pengrusakan harta milik. Penyisiran tersebut dilakukan atas perintah resmi Polda Papua dengan dukungan Kodam XVII Trikora lewat Operasi “Tuntas Matoa”.