Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Paska Wasior Berdarah

22 Maret 2016   18:52 Diperbarui: 22 Maret 2016   19:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari, mereka yang tinggal di daratan pegunungan berjalan kaki dengan noken di kepala atau di kedua bahu; berisi parang, kasbi atau sagu, menuju kebun yang berjarak sedikitnya 3 km. Anak-anak ikut berjalan di belakang atau menempel digendongan. Mereka selalu beringus, seringkali disertai batuk. Anjing-anjing kadang ikut serta, walau lebih bersemangat ketika temani para Ayah dan pemuda untuk berburu.

Siang hari, perempuan-perempuan ini mencuci, memasak, menganyam noken, atau hanya duduk-duduk saja bercerita; atau tidur. Pinang tak berhenti dikunyah, sesekali menghisap Surya 16 jika beruntung atau ada uang lebih. Kalau tidak, Anggur Kupu adalah pilihan yang lebih terjangkau. Semua perempuan makan pinang, tapi tak semua suka Surya 16 maupun Anggur Kupu. Pinang adalah penyelamat dan obat; rokok pun demikian.

Mama-mama yang lebih tua, dan mereka yang tinggal di pedalaman, biasanya senang merokok. Di kebun, bila mereka tidak punya korek api/gas, sejenis buluh kayu halus dipantik oleh batu yang digesek pada bambu hingga berasap dan mengapi. Perempuan-perempuan itu tidak banyak bicara, anak-anak selalu riuh bermain di sekitar mereka. Anak lebih tua menjaga anak-anak lebih muda, yang muda menjaga balita. Para ayah berganti menjaga saat Mama harus pergi mencuci di kali besar, 100 meter dari tempat tinggal.

Hidup sekilas tenang dan lambat.

***

Terdapat 32 (kepala keluarga) KK tinggal di Kampung Wombu. Jumlah itu bercampur dengan keluarga-keluarga yang datang dan tinggal berkala dari Kampung Urere di pedalaman Inyora dan Undurara, satu hari berjalan kaki dari Wombu. Wombu terletak di kaki bukit Inggorosai, suatu bukit bebatuan sakral yang menjadi situs nenek moyang orang Wondama. Wombu semacam kampung transit bagi warga Urere yang harus turun gunung untuk membeli dan atau melakukan pertukaran demi garam, gula, kopi atau beras.

Mayoritas perempuan di sana berusia muda, tanpa mereka tahu pasti berapa. Dari raut wajah, senyum, dan tubuhnya memang tampak masih muda. Mereka semua sudah bersuami, paling sedikit memiliki dua orang anak yang jaraknya berdekatan, atau sedang mengandung. Tidak ada perempuan muda yang lajang di tempat itu. Kategori remaja sepertinya tidak berlaku, kecuali jika boleh disebut remaja istri. Hanya ada satu remaja yang duduk di bangku SMA, kebetulan sedang pulang ke kampung. Ia dan Ibunya seperti kakak adik saja.

Hampir semua perempuan Wombu tidak bisa baca tulis. Tak banyak yang bisa berbahasa Melayu-Papua. Program informal baca tulis tahun 2008, yang diselenggarakan Guru Jemaat gereja Paulus Petrus, Mama Priscila Ariburi, terpaksa terhenti karena sulit bagi waktu. Upaya pengajaran baca tulis oleh anak salah seorang keluarga, yang kebetulan bisa tamat SMA di kota Wasior, tidak banyak membantu. Sekolah dasar, satu-satunya sekolah di kampung itu, ditumbuhi rumput liar. Sejak bulan Agustus 2015 guru honorer yang bertugas tidak masuk lagi.

Semua perempuan-perempuan itu melahirkan dengan bantuan Mama Ester Urio, istri Bapa Lukas Urio, Kepala Suku setempat. Mama Priscila juga membantu dengan bekal ilmu kebidanan dasar sebagai kader PKK. Pos Kesehatan Kampung (poskeskam) ada wujud fisiknya, namun kosong berdebu tidak ada tenaga dan aktivitas. Hanya mantri yang datang dua minggu, atau satu bulan sekali, untuk periksa-periksa sekadarnya, itupun tak lebih dari dua hari.

Neri Urio, perempuan Urere beranak dua, mengatakan kelahiran adalah proses sangat menyakitkan di Urere. Perempuan ‘diasingkan’ ke hutan selama sepuluh hari, lima hari untuk proses kelahiran, lima hari berikutnya untuk semacam penyesuaian diri dan ‘penyembuhan’. Kadang mereka dibiarkan seorang diri.

Kasus kematian bayi terdengar niscaya dari cerita-cerita para Mama. Setidaknya satu orang bayi, terlahir meninggal di setiap keluarga. Kasus plasenta tertahan lazim terjadi pada kelahiran. Tidak ada pemeriksaan selama kehamilan, tindakan medis yang memadai selama persalinan, dan makanan cukup bergizi untuk menunjangnya. Semurina Urio masih mengalami sakit pasca melahirkan. Anaknya sudah menjelang setahun, tetapi sakit disekitar rahimnya tidak berhenti. Pinang muda yang biasa dikonsumsi untuk mempercepat penyembuhan juga tidak membantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun