Kanti Utami(35) seorang ibu asal Brebes, Jawa Tengah yang memiliki tiga orang anak kini sedang ramai diperbincangkan. Pada hari Minggu 20/3/2022 sekitar jam 05.00 WIB meninggalkan cerita yang sadis. Seusai sholat subuh, tetangga ibu KU ini mendengar ada teriakan minta tolong.
Kemudian dengan sigap tetangganya langsung mendobrak rumah dan menghampiri ibu KU. Kondisi yang sangat miris, ketiga anaknya mengalami penganiayaan yang meninggalkan luka parah dibagian leher dan dada. Namun sayang, anak kedua tidak berhasil terselamatkan dan dua anak lainnya berhasil diselamatkan oleh warga sekitar dengan kondisi luka di bagian leher dan dada, lalu segera ambil tindakan perawatan oleh medis daerah setempat.
Dari kejadian tersebut, Polpres Brebes langsung menangkap ibu KU dan dimintai keterangan alasan seorang ibu yang tega menganiaya anak kandung sendiri. Terlihat dalam video yang beredar, pelaku yang masih mengenakan mukenah mengungkapkan alasan melakukan kejadian yang keji itu karena tekanan ekonomi, keadaan suami sedang menganggur dan anaknya takut hidup susah atau miskin.
Kepadatan penduduk Indonesia menduduki urutan keempat di dunia, terjadinya fenomena penduduk tidak hanya di perkotaan namun sebagian besar juga dapat terjadi di pedesaan, salah satunya mengenai kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan yang kompleks.
Kemiskinan disebabkan kerena kebutuhan manusia yang tidak terbatas, distribusi pendapatan yang menimpang akibat adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah juga dapat mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dan permasalahan lainnya (Sri Edy 2007). Dari dimensi ekonomi, terbatasnya kepemilikan alat-alat produktif, penguasaan teknologi dan keterampilan. Kemiskinan telah mengakibatkan kedamaian dan ketentraman menjadi terganggu, sehingga permasalahan ini harus dientaskan.
Indonesia merupakan negara yang berkembang dalam proses modernisasi yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan perubahan pola pikir masyarakat, adat, dan budaya.
Pada tahun 2020, data registrasi Polri mencatat terjadi sebanyak 247.218 kasus kejahatan. Kriminalitas sama dengan kejahatan yang dapat dipidana menurut Undang-Undang. Pada umumnya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, perampok, teroris, atau pembunuh.
Pemicu utama pembunuhan yaitu konflik sosio-emosional yang disebabkan oleh rasa kecewa, sakit hati, atau dendam kepada orang lain. Akibatnya perasaan tersebut dilampiaskan dengan cara membunuh orang lain. Hal ini sedang banyak terjadi pada kasus-kasus pembunuhan di masyarakat.
Lalu bagaimana Islam memandang kasus Ibu KU ini?
Menurut Rokhmadi dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas islam Negeri Walisongo Semarang pembunuhan dalam hukum pidana islam termasuk jarimah qishasdiyat, yaitu hukuman sepadan/sebanding, denda/ganti rugi yang dikategorikan sebagai hak perorangan.
Menurut ulama' salaf bahwa kebijakan hukuman yang diberikan adalah berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat Arab yang pernah berlaku pada masyarakat Muslim awal, yaitu mengenai siapa yang diberi wewenang untuk menentukan kebijaksanaan qishas atau mengenai diyat adalah sangat dipengaruhi oleh praktek kebiasaan masyarakat Arab pada abad ke-7 M, baik mengenai status sosial, maupun budaya setempat, maka sunnah dan praktek yang dijalankan Muslim awal ini yang memberikan masukan atau tolok ukur secara rinci terhadap prinsip-prinsp hukum pidana Islam (jinayat), sehingga dalam penetapan hukumannya masih bersifat diskriminasi, baik status sosial, gender, maupun agama.
Pada era modern menurut ulama khalaf bahwa penetapan hukuman bagi pembunuhan harus disamakan antara pembunuhan laki-laki dengan perempuan, pembunuhan orang Muslim dengan non-muslim, pembunuhan seorang ayah dengan anaknya, harus tetap dikenai hukuman qishas dan jumlah diyat laki-laki dengan jumlah diyat untuk perempuan harus sama, sehingga posisi manusia adalah sama di depan hukum (tidak ada lagi diskriminasi; status sosial, kesetaraan gender dan agama. Sebagaimana keterkaitan pembunuhan sesuai dengan hadist al-Bukhari. Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْلَ (رواه البخاري)
"Dari Abdullah ra, dia berkata: "Tidak satupun jiwa yang terbunuh secara zhalim melainkan putra Adam yang pertama ikut menanggung (dosa pertumpahan) darah itu karena dialah orang pertama yang melakukan pembunuhan". (HR al-Bukhari)
Kemiskinan memang bukan masalah yang mudah diatasi, sebaliknya kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan sebuah tantangan yang berat bagi pemerintah dan masyarakat. Beberapa upaya pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program Penguatan Kemandirian Masyarakat melalui Pengambangan Usaha Mikro, Kecil dan Menegah (UMKM) diharapkan mampu menyerap hingga 70 juta penduduk miskin.
Hal utama yang perlu diingat adalah bahwa pengentasan kemiskinan melalui pembangunan manusia seutuhnya tidak hanya berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat miskin agar dapat memiliki kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan dari kesengsaraan dan kemelaratan, serta kebebasan dari nilai-nilai yang cenderung melestarikan kemiskinan itu sendiri di dalam satu keluarga.
Program-program pengentasan kemiskinan sebaiknya mempertimbangkan dan menerapkan paradigma baru dimana masyarakat miskin bukanlah "korban", melainkan masyarakat yang perlu diberdayakan agar dapat mandiri secara ekonomi.
Jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi Islam, Allah SWT melarang kefakiran seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 29 yang artinya "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat permurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal".
Selain itu, terdapat hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa "bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari". Berdasarkan acuan Al-Qur'an dan hadits tersebut maka dapat menjadi landasan bagi masyarakat muslim untuk berjuang memerangi segala bentuk kemiskinan yang ada.
Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Ibu terhadap anaknya karena alasan ekonomi seharusnya tidak terjadi. Hak untuk hidup merupakan hak manusia yang paling dasar. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Al- Ma'idah ayat 32 yang artinya, "Maka barang siapa yang membunuh satu manusia tanpa kesalahan maka ia seperti membunuh manusia seluruhnya dan barang siapa yang menghidupkannya maka ia seperti menghidupkan seluruh manusia".
Berkaitan dengan pembunuhan anak, secara lebih tegas Allah SWT telah melarangnya dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 31, "Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar". Ayat tersebut telah memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kita bahwasannya Allah SWT menjamin rezeki setiap orang, termasuk yang memiliki anak sehingga tidak perlu khawatir akan kekurangan karena Allah SWT akan mencukupkan rezeki kita selama kita mau meningkatkan iman dan ikhtiar.
Hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku setidaknya harus berorientasi pada upaya rehabilitasi perilakunya dan negara harus bisa menjamin kelangsungan hidup korban/keluarga korban tindak pidana. Menurut Prof. Dr. H. Imam Suprayogo dari UIN Maulana Malik Ibrahim, yang paling penting dalam kasus pembunuhan adalah menghilangkan asal muasal atau akar masalah yang membuat pembunuhan itu terjadi.
Terdapat salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu upaya Pre-Emtif dengan cara menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang.
Meskipun seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan, ia tidak akan melakukannya karena tidak ada niat untuk melakukan hal tersebut, sesuai dengan tujuan dari upaya Pre-Emtif yang menghilangkan faktor niat meskipun ada kesempatan.
Salah satu bentuk upaya Pre-Emtif yaitu dengan mengadakan penyuluhan yang melibatkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), tokoh agama, serta seluruh masyarakat dalam rangka memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat agar menjadi masyarakat yang taat hukum kontitusional dan hukum agama.
Penulis : Ai Siti Maryam, Nadya Nur Annisa, Anietya Putri Rahmanda, Zelina Mariyori Wazlir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H