Mendengar atau membaca kata bonus, buat emak-emak kayak saya pasti matanya dah berbinar-binar haha. Namun, bagaimana dengan kata bonus demografi? Nah loh, bonus apaan itu?
Bonus demografi adalah suatu periode terjadinya ledakan penduduk usia produktif yang bisa menopang penduduk tidak produktif. Bonus ini berlangsung 20-30 tahun pada suatu wilayah atau negara.
Tanda-tanda wilayah atau negara itu sedang dapat bonus demografi adalah, angka fertilitas menurun, jumlah penduduk dibawah usia 15 tahun relative rendah, sementara jumlah penduduk di atas usia 60-65 tahun belum tinggi, kemudian jumlah anak dan angka ketergantungan hidup mulai menurun pada posisi di bawah angka 50. Bagaimana hitung-hitungannya kok bisa dapat angka 50? Mari kita googling belajar geografi lagi, hehe.
Pembukaan informasi di atas saya peroleh dan berkesempatan hadir pada acara Kompasiana Nangkring bersama BKKBN di Medan dengan tema Bonus Demografi : Antara Harapan dan Kenyataan, Jum’at 5 Agustus 2016.
Acara tersebut menghadirkan pembicara seperti Dr. H. Abidinsyah, Deputi Advokasi Pergerakan dan Informasi (Adpin) BKKBN, Dr. dr. Putri Eyanoer, MPH selaku perwakilan USU, dan Hj. Nadra, dosen STIK-P serta dimoderatori oleh Widha Karina, Content dan Community Officer Kompasiana.
Ada Apa dengan Bonus Demografi?
Iya, sebenarnya ada apa dengan bonus demografi sampai sampai BKKBN mengundang blogger untuk turut membantu sebar luaskan info tersebut dan seputar program mereka?
Sekilas tentang acara ini sebelum kita bahas lebih lanjut, jadi pas pembukaan acara, setelah melewati beberapa mata acara pokok, usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, peserta kembali diminta berdiri untuk menyanyikan mars KB.
Mars KB, membawa saya pada kenangan kecil saat menonton TVRI, mars tersebut wara wiri di stasiun TV lawas itu. Ketika Pak Abidin memulai talkshow-nya, ia sampaikan fakta hari ini bahwa program KB hampir tenggelam, padahal Indonesia telah sukses menekan angka kelahiran dengan menjalankan program tersebut, eh sekarang angka kelahiran mulai beranjak naik kembali, itu sebab yang jadi salahsatu alasan, BKKBN menggandeng blogger agar sekalian ikut menyuarakan program KB.
Balik lagi nge bahas soal bonus demografi, berdasarkan slide Pak Abidin, bonus tersebut gak semua daerah mendapat dan mengalaminya, apalagi sejak berlakunya sistem otonomi daerah. Indonesia yang terdiri dari berbagai wilayah dengan ciri dan struktur demografinya yang berbeda beda itulah yang membuat era bonus demografi masuknya gak serentak ke suatu daerah.
Daerah yang menjalankan program KB Kesehatan dan Pembangunan yang konsistenlah yang bisa berhasil masuk ke era tersebut bahkan sejak tahun 1990-an. Wuih dah lama juga ya, iya juga sih secara program KB udah ada di tahun 70-an. Sedangkan daerah lain baru akan masuk era bonus pada tahun 2030-2040, masih ada waktu mempersiapkan diri dan keluarga serta masyarakat memasuki era bonus.
Sekilas Tentang BKKBN
Ngobrolin program KB yang udah ada sejak tahun 70-an, pada kepo gak sih awal mula ada BKKBN dengan program-program heitsnya? Saya pun kepo. Berdasarkan penjelasan Pak Abidin, pada zaman Presiden Soekarno memimpin, beliau mengeluarkan kebijakan pro-natalis artinya yang mendukung meningkatnya angka kelahiran, “Untuk menjadi Negara yang besar dan kuat, Indonesia butuh 250 juta penduduk” dengan berapi-api Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya, dan memang penduduk Indonesia waktu itu baru sekitar 40 jutaan. Itulah sebab orangtua zaman dulu punya anak banyak-banyak.
Nah namanya juga kebijakan manusia pasti gak sempurna toh? Tingginya angka kelahiran ternyata tidak dibarengi dengan perencanaan yang lain seperti memastikan kelahiran anak Indonesia agar jauh dari sebab-sebab kematian mendadak, atau layak mendapatkan akses pendidikan yang mudah. Kemudian ketika berakhirnya kepemimpinan Presiden Soekarno dan setelah dipikir segala urusan tentang ideologi dan pemerintahan selesai pada masa itu, maka pada era Presiden Soeharto saatnya memikirkan bagaimana agar penduduk Indonesia sejahtera. Bersama Bapak Wijoyo Nitisastro yang menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Presiden Soeharto membicarakan hal tersebut, maka muncullah prediksi Pak Wijoyo, bahwa tahun 1970 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 109 juta, tahun 2000 menjadi 285 juta, kemudian tahun 2010 mencapai 335 juta.
Bisa dibayangkan betapa sesaknya Indonesia dengan ledakan penduduk yang terus bertambah? Sementara bumi atau paling tidak wilayah Indonesia tempat kita berpijak ini toh gak ikut meluas seiring pertambahan penghuninya, istilah geografinya ledakan penduduk akan sangat mempengaruhi carry capacityatau daya dukung lingkungan yakni kemampuan suatu lingkungan dalam menunjang kehidupan makhluk hidup secara optimal dan jangka panjang. Detilnya, apakah nantinya lingkungan tempat kita tinggal akses air nya oke, pasokan listrik memadai, pusat pasar cukup menyetok kebutuhan hidup penduduk, pendapatan masyarakat tinggi, kalau semuanya komplit, maka penduduk Indonesia bisa dipastikan sejahtera. Namun, kenyataan yang dikhawatirkan adalah sebaliknya, bila begitu Indonesia jauh dari sejahtera.
Etapi ada satu komponen yang tertinggal selain daya dukung, ledakan penduduk juga mempengaruhi daya tampung, seperti yang sebelumnya sudah saya singgung di atas, tentu penduduk yang bertambah tidak dibarengi dengan bumi juga ikut meluas, bumi mah segitu-gitu aja, malah semakin tua dan renta serta sesak.
Oleh sebab itu, oleh Presiden Soeharto didirikanlah BKKBN-Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pada tahun 1970.
Bagaimana dengan Sumatera Utara, Sudahkah Masuk Era Bonus Demografi?
Berhubung saya tinggal di Sumatera Utara, saya penasaran dong apakah provinsi tempat saya lahir dan tinggal ini sudah dapat bonus? Bagaimana cara valid mengetahuinya?
Pada sesi ini saya cukup terkejut dengan fakta yang dipaparkan Pak Abidin, ternyata Sumut belum masuk era bonus demografi. Kok bisa? Iya, tengok aja itu rasio angka ketergantungan usia non produktif terhadap usia produktif begitu gendut, bahkan proyeksi rasio ketergantungan di tahun 2015 aja masih 56,3, sementara syarat untuk dapat bonus, angka ketergantungan harus rendah. Data tersebut dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2013. Betapa beratnya beban si usia produktif menanggung ketergantungan dari si usia non produktif.
Apa pasalnya? Ya balik lagi ke syarat suatu daerah agar dapat bonus, angka kelahiran rendah serta pembangunan oke. Lalu? Bagaimana wajah Sumatera Utara hari ini?
Memang lebih valid menuliskan fakta pakai data, tapi pengalaman tetap guru yang terbaik. Suatu hari saya pernah pulang dengan mengorder go jek dan saat itu busy hour jam orang pulang kantor, terakhir kali menikmati macet sore hari itu sekitar dua tahun lalu, dan sekarang macetnya tetap sama bahkan makin parah, saya mengalami sendiri di daerah simpang Zipur atau simpang KFC, ulalalala, saya dan bang go jek sampai kepepet pepet dengan truk gede-gede itu, saya gak henti berzikir, sempat silap bisa terhisap awak ke ban truk yang segede mobil sedan itu.
Dan tercetuslah dialog saya dengan Bang Go Jek,
Saya : Parah kali macetnya ya Bang
Ujar saya usai berhasil menembus kemacetan yang bikin stressonng
Bang Go Jek : Itulah mb, kalau saja dibangun jalan layang, mungkin gak separah ini. Lihat saja Jalan Binjai – Medan. Akibat otonomi, pejabat daerah tolak-tolakan tanggungjawab dalam membangun jalan.
Itu masih soal pembangunan jalan, konon lagi memperbaiki jalan berlubang. Ntahlah payah cakap. Beberapa kali saya mengunjungi orangtua saya di Bandar Setia, Deli Serdang dengan menggunakan becak mesin, bisa dibayangkan badan saya tecampak-campak saat Uwak Becak mengelakkan lubang yang dalamnya melebihi hati wanita yang tersakiti hatinya? Memang harus banyak-banyak istighfar melihat pembangunan di Sumut ini.
Meskipun begitu saya yakin sebenarnya pemerintah setempat tengah bekerja keras menyelesaikan pe er mereka, beberapa jalan layang saya lihat sedang proses penyelesaian, semoga dimudahkan dan proyeknya berjalan lancar aamiin. Kita doakan yang terbaik untuk Sumut kita tercinta ini.
Masalah kependudukan gak melulu tentang pembangunan fisik lingkungan tempat tinggal, tapi juga kualitas penduduk tersebut. Mendengar pemaparan dr. Putri mengenai hasil survey kondisi remaja Sumatera Utara hari ini sangat memprihatinkan. Padahal remaja termasuk penduduk usia produktif yang sangat diharapkan ide-ide kreatifnya demi membangun daerah, tapi justru remaja atau pemuda Sumut begitu memerlukan perhatian kita sebagai orangtua.
Jumlah penduduk usia 10-24 tahun di Sumut sekitar 63 juta jiwa, kemudian ada 3 masalah yang melingkupi kondisi remaja saat ini, yaitu, masalah seks, keluarga pra sejahtera dan lingkungan.
Masalah seks sendiri, berdasarkan survey yang dilakukan dr.Putri dan tim, sekitar 35% sudah pernah melakukan seks pranikah, 78% terlibat Narkoba, 27% pernah aborsi, 50% prediksi AIDS. Presentase dan masalah yang menyertai remaja kita bikin hati dan kepala nyut-nyut ya Mak, saya jadi pengen peluk anak saya T_T.
Masalah yang kedua adalah masalah keluarga pra sejahtera, dr. Putri pada satu rangkaian survey ke lapangan, ia pernah mendatangi sebuah daerah di belakang kantor harian Waspada, betapa ada sebuah keluarga yang tinggal pada sepetak rumah dengan jumlah anak 7 orang, bila tidur, mereka akan bersusun paku karena saking tidak adanya ruang untuk bergerak. Anak-anak tidak ada yang sekolah, mereka mengumpulkan receh dengan mengamen, uang yang didapat hari itu untuk dihabiskan makan hari itu juga.
Jika sudah begini, mau dibawa kemana Sumut dengan kondisi penduduk usia produktifnya yang justru gak produktif dan gak berkualitas?
Pun sebenarnya, dibalik masalah remaja itu semua, saya masih terus optimis, bahwa remaja Sumut banyak juga yang produktif dan berkualitas. Beberapa tahun terakhir, di Sumut mulai banyak bermunculan komunitas-komunitas anak muda yang bergerak pada kegiatan positif, bagi saya hal tersebut semacam angin syurga, bahwa pemuda Sumut sebenarnya sedang bergeliat untuk membawa Sumut memasuki era bonus demografi. Semoga.
Tantangan Orangtua Mendidik Si Calon Usia Produktif
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan ) mereka…(QS. An-Nisa ayat 9)
Melihat dan mendengar pemaparan para pembicara semua tentang bonus demografi, saya sebagai orangtua langsung ambil kesimpulan, berarti jelang era bonus demografi, sekarang saya sedang mendidik si calon usia produktif, dong? Hu’um, beneran deh…
Sebagai istri sekaligus mahmud abas, mamah muda anak baru satu, laki-laki pula, merasa terpanggil untuk terlibat dalam menyambut era bonus demografi, salahsatunya dengan cara mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Karena saya pikir, anak adalah investasi dunia akhirat saya. Yang namanya investasi, gak akan saya biarkan ia melemah sepeninggal saya, untuk itu saya akan merawatnya hingga ia menjadi kuat dan mampu bertahan di masa depan.
Yang dikatakan usia produktif adalah, penduduk yang berusia 15-64 tahun. Menurut ilmu psikologi, penduduk yang berusia di kisaran 15 tahun disebut remaja, lebih lengkapnya remaja adalah periode transisi dari masa awal anak-anak hingga masa awal dewasa yang dimasuki pada usia sekitar 10-12 tahun dan berakhir di usia 18-22 tahun. Singkatnya lagi, remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun.
Istilah remaja saat ini, cenderung negative bahkan masa yang penuh gonjang ganjing, padahal bila para orangtua mengetahui ilmu mempersiapkan anak jelang masa remajanya, maka masa remaja anak kita bisa dilewati dengan tenang. Jika masa remajanya penuh ketenangan maka ia akan menjadi pemuda dewasa yang tenang pula, dan jauh dari mental anarkis. Bukannya era demografi bergantung pada kualitas si usia produktif, lalu mengapa tidak kita awali dengan mempersiapkan bekalnya?
Maka, pada artikel ini, saya lebih berfokus membahas tentang mempersiapkan si calon usia produktif yang nantinya akan mempengaruhi suatu wilayah apakah dapat bonus demografi atau tidak.
Idealnya mendidik anak hendaknya saat seorang pria memilih calon ibu yang baik untuk anak-anaknya, kemudian dilanjutkan pada masa kehamilan, lalu melahirkan dan mendidiknya dari 0 bulan, tapi bukan ranah saya membahasnya secara detil disini, saya pun juga terus belajar sebagai orangtua, dan beruntung sekali ilmu parenting tumbuh subur di masa kini, tinggal kita wahai orangtua, mau mempelajarinya atau tidak.
Mendidik calon si usia produktif, apalagi yang jelang akil baligh-istilah dalam Islam yang artinya berakal dan dewasa, atau kita kenal dengan istilah pubertas. Menandai seorang anak manusia menjadi seorang manusia dewasa dalam agama Islam sangat mudah, yakni kalau laki-laki ditandai dengan terjadinya mimpi basah, sedangkan pada perempuan, menstruasi. Jadi, kalau ditelaah lagi, dalam Islam tidak mengenal istilah remaja untuk menyebutkan fase masa pada manusia, tapi masa anak-anak dan masa muda atau dewasa serta masa tua.
Sampai pembahasan disini, sejatinya tidak sulit menciptakan masa remaja anak kita yang tenang, hanya perlu keterlibatan pengasuhan ayah dan ibu di rumah serta ilmu mendidik anak tentunya. Biasanya anak perempuan yang sering dipersiapkan untuk masuk masa pubertas atau menstruasi, dan jarang para ayah mempersiapkan anak lelakinya dalam menghadapi mimpi basah sebagai tanda bahwa anaknya akan masuk fase dewasa.
Ada artikel menarik dari Elly Risman, pakar parenting dan pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati, tentang mempersiapkan masa akil baligh khususnya bagi anak lelaki. Kenapa anak lelaki? Karena anak lelaki adalah sasaran empuk bisnis pornografi internasional, nah apa jadinya bila anak laki-laki kita hari ini kelak jadi pria dewasa berotak mesum, bukan jadi bagian dari usia produktif yang berkualitas tapi malah produktif dalam hal lain yang negative. Saya ngeri membayangkannya. Bisa dilihat lagi ke belakang masalah apa yang paling banyak bermunculan di media beberapa bulan terakhir, kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak laki-laki!
Sekilas sepele soal mempersiapkan anak kita memasuki masa baligh tapi hal ini sangat penting agar mereka tumbuh jadi pribadi yang lurus dan benar. Memang dalam perjalanannya akan banyak kendala, tapi bukan berarti tidak bisa, anak kita memerlukan informasi yang jelas dari orangtuanya sebelum ia mengaksesnya sendiri dari sumber lain yang belum tentu jelas kebenarannya. Urusan menghadapi mimpi basah adalah urusan para ayah.
Ayo ayah ambil tanggung jawab luarbiasa ini, anak lelaki kita yang usia 7 tahun itu sedang ingin dekat-dekatnya denganmu, gunakan masa ini untuk membicarakan tentang apa itu mimpi basah, apa yang harus dilakukan, gunakan the power of touch saat berbicara dengan anak lelaki kita, sentuh bahu atau kepala mereka, hal tersebut akan menumbuhkan keakraban antara ayah dengan anak.
Katakan pada anak lelaki kita yang sudah mau akil baligh tersebut, bahwa kelak ia akan sudah bertanggung jawab pada Tuhan atas segala perbuatan yang dilakukan, begitu juga tanggung jawab untuk terlibat di masyarakat sebagai lelaki dewasa. Sampaikan juga pada anak lelaki kita apa yang harus dilakukan setelah alami mimpi basah. Dalam Islam, orang yang mimpi basah diwajibkan mandi besar.
Awalnya mungkin canggung bila ayah selama ini tak dekat dengan anak lelakinya, tapi bisa kok dimulai.
Wah, jadi kemana-mana pembahasan kita ini, tapi inti dari menyambut era bonus demografi adalah bagaimana kita mempersiapkan kualitas diri kita dan anak-anak kita menjadi sumber daya manusia yang mumpuni dan bermanfaat.
Begitupun kita sebagai orangtua kelak jangan sampai menjadi orangtua yang menjadi beban, jadilah orangtua yang tetap produktif dan berkualitas.
Asy-Syantut, Khalid, 2013, Mendidik Anak Laki-laki, Solo : Penerbit Aqwam
Data singkat penulis:
FB : Nurul Fauziah
Twitter : @nufazee
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H