Dan tercetuslah dialog saya dengan Bang Go Jek,
Saya : Parah kali macetnya ya Bang
Ujar saya usai berhasil menembus kemacetan yang bikin stressonng
Bang Go Jek : Itulah mb, kalau saja dibangun jalan layang, mungkin gak separah ini. Lihat saja Jalan Binjai – Medan. Akibat otonomi, pejabat daerah tolak-tolakan tanggungjawab dalam membangun jalan.
Itu masih soal pembangunan jalan, konon lagi memperbaiki jalan berlubang. Ntahlah payah cakap. Beberapa kali saya mengunjungi orangtua saya di Bandar Setia, Deli Serdang dengan menggunakan becak mesin, bisa dibayangkan badan saya tecampak-campak saat Uwak Becak mengelakkan lubang yang dalamnya melebihi hati wanita yang tersakiti hatinya? Memang harus banyak-banyak istighfar melihat pembangunan di Sumut ini.
Masalah kependudukan gak melulu tentang pembangunan fisik lingkungan tempat tinggal, tapi juga kualitas penduduk tersebut. Mendengar pemaparan dr. Putri mengenai hasil survey kondisi remaja Sumatera Utara hari ini sangat memprihatinkan. Padahal remaja termasuk penduduk usia produktif yang sangat diharapkan ide-ide kreatifnya demi membangun daerah, tapi justru remaja atau pemuda Sumut begitu memerlukan perhatian kita sebagai orangtua.
Jumlah penduduk usia 10-24 tahun di Sumut sekitar 63 juta jiwa, kemudian ada 3 masalah yang melingkupi kondisi remaja saat ini, yaitu, masalah seks, keluarga pra sejahtera dan lingkungan.
Masalah seks sendiri, berdasarkan survey yang dilakukan dr.Putri dan tim, sekitar 35% sudah pernah melakukan seks pranikah, 78% terlibat Narkoba, 27% pernah aborsi, 50% prediksi AIDS. Presentase dan masalah yang menyertai remaja kita bikin hati dan kepala nyut-nyut ya Mak, saya jadi pengen peluk anak saya T_T.
Masalah yang kedua adalah masalah keluarga pra sejahtera, dr. Putri pada satu rangkaian survey ke lapangan, ia pernah mendatangi sebuah daerah di belakang kantor harian Waspada, betapa ada sebuah keluarga yang tinggal pada sepetak rumah dengan jumlah anak 7 orang, bila tidur, mereka akan bersusun paku karena saking tidak adanya ruang untuk bergerak. Anak-anak tidak ada yang sekolah, mereka mengumpulkan receh dengan mengamen, uang yang didapat hari itu untuk dihabiskan makan hari itu juga.
Jika sudah begini, mau dibawa kemana Sumut dengan kondisi penduduk usia produktifnya yang justru gak produktif dan gak berkualitas?