Namun, yang terjadi dalam dunia nyata adalah sebaliknya. Alih-alih mengurangi jam kerja, masyarakat memilih untuk mempertahankan beban kerja yang sama, menghasilkan surplus yang tidak diperlukan, atau bahkan memecat sebagian pekerja sehingga menciptakan pengangguran.Â
Ketimbang memberikan waktu luang yang lebih banyak kepada semua orang, masyarakat menciptakan ketimpangan: sebagian orang tetap bekerja keras, sementara sebagian lainnya tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Menurut Russell, ini adalah pengelolaan yang tidak masuk akal terhadap sumber daya manusia.
Kritik terhadap Nilai Kerja Keras
Bagi Russell, anggapan bahwa kerja keras adalah keutamaan moral bukanlah sesuatu yang alami. Narasi ini, menurutnya, sering digunakan oleh pihak berkuasa untuk memastikan pekerja tetap patuh dan produktif.Â
Sepanjang sejarah, kelas kaya dan aristokrat sering mempromosikan "keutamaan kerja" sambil memastikan bahwa mereka sendiri tidak melibatkan diri dalam kerja keras. Mereka hidup dalam kenyamanan yang didukung oleh hasil kerja orang lain.
Meskipun demikian, Russell mengakui bahwa kelas aristokrat, dengan waktu luang yang mereka miliki, sering kali berkontribusi besar terhadap peradaban.Â
Mereka menciptakan seni, menemukan ilmu pengetahuan, dan menulis filsafat. Namun, kontribusi ini bukan karena mereka lebih cerdas atau lebih berbakat daripada pekerja, melainkan karena mereka memiliki waktu luang untuk memikirkan hal-hal yang lebih besar daripada sekadar bertahan hidup.
Ketimpangan dalam Pemanfaatan Teknologi
Dengan kemajuan teknologi modern, Russell percaya bahwa waktu luang tidak lagi harus menjadi hak istimewa yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.Â
Metode produksi saat ini memungkinkan distribusi kerja yang lebih adil dan waktu luang untuk semua orang.Â
Namun, masyarakat modern cenderung memilih untuk mempertahankan struktur sosial yang ada, di mana kerja keras tetap dianggap sebagai tolok ukur utama nilai seseorang.