Hadis ini menegaskan bahwa amal bukanlah harga untuk masuk surga, melainkan rahmat Allah yang menjadi penentu.Â
Mengapa Amal Tidak Bisa Menjadi Harga Surga?
Kita harus memahami bahwa kemampuan kita untuk melakukan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan sedekah, semua berasal dari Allah. Allah-lah yang melapangkan dada kita dan memberi kita kekuatan untuk melaksanakan ibadah. Jika kita berpikir bahwa amal kita adalah harga yang kita bayarkan untuk surga, itu berarti kita menganggap bahwa kemampuan untuk beribadah adalah milik kita sendiri, bukan pemberian dari Allah.Â
Seharusnya, ketika kita mampu melaksanakan ibadah dan ketaatan, kita harus bersyukur kepada Allah karena telah memberikan kita kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya. Sebagai contoh, ketika kita bangun di tengah malam untuk shalat tahajud, kita harus memuji Allah karena Dia telah memberi kita taufik untuk berdiri di hadapan-Nya. Tanpa cinta dan perhatian-Nya, tentu mustahil kita bisa melaksanakan qiyamul lail, dan tentu akan tertidur dan tidak mampu melaksanakan ibadah tersebut.Â
 Pentingnya Pemahaman yang Benar
Pemahaman yang benar mengenai hubungan antara amal dan rahmat Allah sangat penting untuk menjaga keikhlasan dan ketawadhuan kita. Jika kita menganggap bahwa amal ibadah kita adalah karunia dari Allah dan bukan hasil usaha kita sendiri, kita akan lebih rendah hati dan tidak akan sombong. Kita juga akan lebih berharap kepada rahmat Allah daripada mengandalkan amal kita.
Â
Sebuah Bentuk Kesombongan
Menganggap bahwa ketaatan dan ibadah yang kita lakukan adalah hasil kerja keras kita sendiri adalah bentuk kesombongan yang halus namun berbahaya. Kesombongan ini bisa membuat kita merasa bahwa kita lebih baik daripada orang lain dan bahwa kita berhak mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah. Padahal, pemahaman ini justru bertentangan dengan hakikat penghambaan kita kepada Allah dan bisa merusak keikhlasan dalam beribadah.
Ketika seseorang merasa bahwa shalatnya, puasanya, atau amal kebaikannya adalah murni hasil usahanya sendiri, tanpa menyadari bahwa semua itu adalah karunia dari Allah, maka dia telah terjebak dalam kesombongan. Kesombongan ini bukan hanya merusak hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Kita mungkin mulai melihat diri kita lebih tinggi dari orang lain yang mungkin belum diberi taufik untuk melaksanakan ibadah yang sama.
Â