"Iya, Neng. Nasib kita sedang jelek. Pabrik terancam bangkrut, dan kami kena imbasnya," lirih Wahyu. Matanya tampak berkaca-kaca memberikan surat PHK kepada sang istri.
Pikirannya sungguh kalut mengingat Mira kini berbadan dua. Taksiran tanggal persalinan sudah dekat. Dapat dibayangkan biaya yang akan dibutuhkan untuk menyambut si kecil lahir. Belum lagi untuk membeli peralatan dan baju, ditambah kenduri tasyakuran akikah
"Neng, maafin Akang, ya. Akang akan coba kerja serabutan untuk biaya persalinan kamu nanti," ungkapnya sambil meraih jemari Mira, "Akang dengar dari tetangga, kalau kuli tambang pasir di bukit seberang kampung cukup besar upahnya," lanjutnya berusaha menenangkan sang istri.
"Kang ... kuli tambang pasir itu penuh risiko. Neng takut a--"
"Sudah! Yakinlah kepada Allah. Apa pun pekerjaannya. Asal itu halal, Akang akan tetap lakukan demi keluarga kita. Doakan saja, biar semuanya lancar, Neng." Wahyu menempelkan telunjuknya di bibir Mira. Ia tahu risiko pekerjaan barunya begitu besar. Namun, untuk saat ini, hanya kuli tambang pasirlah pilihan yang terbaik untuknya.
***
"Kang Wahyu ...." Suara lirih Mira terdengar berat.
Matanya sembap, kantung kehitaman tampak menggelayuti bagian bawah mata bulatnya akibat tangis yang tak henti sejak kemarin. Perempuan yang sudah sepuluh bulan dinikahi Wahyu--pemuda miskin dari kampung sebelah--kini menatap kosong, hidupnya semakin hampa.
"Ayo, diminum dulu, Neng!" Seorang wanita tua menyodorkan sebuah gelas berisi air putih. Mira hanya menggeleng lemah.
"Aku ingin ikut dengan Kang Wahyu!" teriaknya mengagetkan tetangga yang sejak tadi berkerumun.
"Istighfar, Neng! Ikhlaskan suamimu pergi." Wanita tua itu memeluk Mira. Hatinya begitu pilu menghadapi kenyataan yang begitu pahit diterima sang putri.