Mohon tunggu...
Yayi Solihah (Zatil Mutie)
Yayi Solihah (Zatil Mutie) Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari SMK N 1 Agrabinta Cianjur

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pesan Terakhir

12 Februari 2021   06:19 Diperbarui: 12 Februari 2021   06:22 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semilir angin menerpa pohon-pohon karet yang berjejer  rapi memenuhi perkebunan milik seorang Tionghoa. Para buruh tengah sibuk mengambil lateks--getah yang keluar dari batang karet--dengan semangat. Celoteh-celoteh riang para lelaki itu seperti bumbu yang melengkapi banjir peluh yang membasahi tubuh mereka. Tak ada lelah yang tampak. Padahal upah mengambil lateks yang disetorkan kepada mandor tak seberapa harganya.

Salah seorang pekerja tampak selesai menyerahkan ember besar berbahan alumunium berisi cairan kental putih kepada mandor yang menunggu di dekat tangki pengumpulan lateks. Setelah ditimbang dan dicatat, pria berusia tiga puluh tahunan itu berjalan dengan gontai. Benaknya masih digelayuti bermacam pertanyaan.

Kertas putih berisi pernyataan pemutusan hubungan kerja baru saja dia terima dari kepala bagian karyawan pabrik. Memang bukan hanya dirinya yang menerima. Separuh buruh lateks terkena PHK besar-besaran. Desas-desus yang ramai terdengar, sejak harga karet dunia turun. Pabrik lateks tempatnya bekerja terancam gulung tikar. Sedangakan buruh yang banyak harus dibayar sesuai upah yang telah disepakati. Namun, setelah pendapatan pabrik turun drastis, pabrik pun memilih opsi PHK sebagian buruh sebagai pilihan terbaik.

***
Tubuh Mira masih tergolek tak berdaya. Napasnya terlihat naik-turun. Tetangga datang menengok tampak ikut bersedih. Dari raut mukanya mereka masih larut dalam duka melihat tragedi memilukan yang menimpa perempuan muda itu. Perutnya tampak buncit menjadi pertanda jika perempuan itu kini sedang berbadan dua.

***

Dersik berembus lembut seolah mengantarkan irama lirih. Kabut pun enggan beranjak dari singgasananya di lembah tempat peristiwa maut kemarin terjadi. Tebing pasir tempat penduduk mengais rejeki setiap hari telah merenggut korban.

Hujan yang mengguyur hampir seminggu menyebabkan longsor  dadakan dari puncak tebing setinggi 700 meter. Tempat penambangan pasir alam terbesar di kampung itu telah mengubur hidup-hidup puluhan penambang pasir ilegal.

 Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan larangan kepada warga. Namun, sebagian warga yang tak punya lagi pekerjaan, terpaksa mengambil resiko bertaruh nyawa demi sesuap nasi. Memang terkadang manusia melupakan bahaya yang mengintai hanya untuk mencukupi kebutuhan ragawi belaka. Seperti halnya Wahyu--suami Mira--yang terkena PHK dari pabrik lateks, kini menghilang tertimbun longsor.

***
"Neng, A-akang ... dipecat ....." Pria bertubuh kurus itu tersendat mengungkapkan apa yang baru dialaminya.

"Uhuk! Apa, Kang? Dipecat!" Mira tersedak seketika. Nasi yang baru saja masuk dari tangannya seketika berhamburan. Wajah manis itu berubah pucat pasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun