Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Content Creator, Podcaster

Introvert yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perubahan Saudi di Bawah Kepemimpinan Mohammed Bin Salman & Visi 2030, Arab yang Dulu Sudah Tidak Ada!

11 Oktober 2024   13:36 Diperbarui: 12 Oktober 2024   08:53 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saudi Vision 2030

Berita tentang ambisi Arab Saudi mewujudkan visi tahun 2030 kini kian ramai diperbincangkan baik oleh media Arab maupun internasional, informasi ini cukup menimbulkan pro kontra di masyarakat Indonesia karena ada ribuan mahasiswa Nusantara yang berkuliah di sana. 

Belum lagi ratusan tenaga kerja kita juga berkarir di sana, lalu jamaah Umroh, Haji yang silih berganti masuk ke negara Petro Dollar tersebut. 

Tentu apa saja yang terjadi di Negeri Raja Minyak Timur Tengah itu akan berdampak bagi Indonesia, Arab Saudi adalah kerajaan yang selalu berjuang keras menjaga stabilitas ekonomi dan politik mereka. 

Revolusi Islam Iran pada 1979 yang berhasil meruntuhkan Dinasti Mohamad Reza Pahlavi, setalah lebih dari 30 tahun berkuasa kemudian Arab Spring yang terjadi di seluruh negara-negara Timur Tengah. 

Mulai dari Tunisisa di barat sampai Yaman di selatan, Arab Saudi adalah satu-satunya yang masih mempertahankan sistem kerajaan (Monarki Absolut) di tengah gempuran demokrasi. 

Ali Husain Jurnalis The Media Line menjelaskan 8 tahun setelah Putra Mahkota Mohammed bin Salman, menggagas ide tentang Visi Saudi 2030 proyek ini dikritik oleh banyak orang. 

Gagasan tersebut dinilai terlalu ambisius dan sulit dicapai, media-media Timur Tengah terus menyoroti isu ini salah satu proyek raksasa dalam Visi Saudi 2030 adalah pembuatan kota baru. 

Program ini digagas oleh Putra Mahkota pada 2022, kota ini nantinya direncanakan membentang sepanjang 170 km dan dapat menampung 9 juta orang.

Cara Pandang Orang Arab

Kenyataannya sistem pemerintahan demokrasi atau republik tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara Arab, karena sifat keras orang-orang Arab yang sejak dulu terbiasa diatur oleh seorang pemimpin tunggal dengan pedang dan cambuk. 

Terbukti meskipun banyak negara-negara Timur Tengah yang sudah mengadopsi sistem demokrasi, namun nyatanya baru Aljazair dan Tunisia yang berani menyelenggarakan pemilu Presiden secara langsung. 

Untuk menjaga stabilitas politik kerajaan, setiap pewaris tahta harus selalu memutar otak agar negara mereka bisa bertahan di tengah arus globalisasi. 

Dinasti Saudi ingin kekuasaannya tetap kokoh sebagaimana yang telah diamanatkan oleh kakek buyut mereka, kerajaan Arab dibangun lewat perang dan darah kakek buyut mereka ratusan tahun lalu. 

Oleh karenanya kini para pewaris tahta memiliki tanggung jawab moral untuk terus berjuang, melakukan segala cara demi kerajaan mereka tetap eksis dan bertahan. 

Lisa Anderson Jurnalis The Cairo Review menjelaskan ada masa dimana Dinasti Arab runtuh karena dijajah oleh bangsa Eropa, setelah kekuasaan negara-negara barat itu berakhir beberapa warisan-warisan kolonial tetap dipertahankan.

Pada 1950-1970an perdebatan tentang bentuk negara dan pemerintahan sudah banyak terjadi, pada masa ini Mesir merupakan negara Arab yang sukses menjadi negara terkuat. 

Berkat mengadopsi sistem pemerintahan dan ideologi barat, karena saat itu mereka memiliki bonus demografi dan identitas budaya yang kuat di bawah kepemimpinan Gamal Abdul Nasir. 

Di era berikutnya yang terjadi adalah sistem Monarki absolut mulai ditinggalkan, banyak negara-negara Arab lain yang mulai mengikuti langkah Mesir mulai dari Irak, Libya, hingga Aljazair.

Mampukah Arab Saudi Bertahan?

Bangsa Arab pernah dikuasai banyak kerajaan salah satu yang terbesar dalam sejarah adalah Dinasti Turki Utsmani, banyak gerakan revolusioner memberontak terhadap Dinasti ini yang sudah berkuasa selama ratusan tahun. 

Salah satunya adalah yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha pada 1924, di era pasca Perang Dunia 1 tersebut akhirnya Turki Utsmani berhasil diruntuhkan meskipun Mustafa harus meminta bantuan Inggris. 

Dimana saat itu koalisi negara-negara Eropa juga berambisi menguasai sumber daya minyak di tanah Arab, lalu mereka membuat kesepakatan yang dirasa menguntungkan kedua belah pihak. 

Pewaris tahta Kerajaan Arab akan melakukan apapun demi mempertahankan kekuasaanya, termasuk bekerja sama dengan pihak yang memiliki ideologi berbeda. 

Banyak pakar politik berpendapat Kerajaan Arab yang hidup dari penjualan minyak ini tidak akan bisa bertahan lama, karena dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih cepat atau lambat bahan bakar minyak akan ditinggalkan. 

Cinzia Bianco Penulis Jurnal European Council on Foreign Relations menjelaskan, Arab Saudi kini berupaya memperluas kekuasaannya dengam mengambil posisi di Dewan Internasional PBB. 

Mereka menjadi perwakilan negara-negara Timur Tengah di organisasi global tersebut, Arab Saudi membangun kerja sama ekonomi dengan berbagai negara. 

Mereka kini menjadi sahabat bagi negara-negara Eropa untuk kepentingan ekonomi dan hubungan internasional, kerajaan ini memegang peran penting dalam agenda politik global. 

Di sisi lain negara-negara Eropa juga butuh kekuasaan terhadap kerajaan Arab, terbukti dengan bagaimana mereka selalu melibatkan Pemerintahan Riyadh dalam rapat-rapat internasional.

Ambisi Putra Mahkota Saudi

Mohammed Bin Salman sebagai calon Pewaris Tahta Kerajaan yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Arab Saudi memiliki ambisi besar, sampai dalam sampul majalah Time tahun 2018 terpampang wajahnya dengan judul. 

'The Saudi Crown Prince Thinks He Can Transform The Middle East' kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan, 'Should We Believe Him?' judul tersebut seperti menyampaikan bahwa ada keraguan di tengah masyarakat. 

Apakah visi yang digagas Sang Pangeran ini dapat membwa Kerajaan Saudi menuju kejayaan?, atau malah membawa Saudi menuju kehancuran?. 

Majalah Time menggambarkan sosok Mohammed Bin Salman sebagai tokoh Arab yang selalu bersebarangan dengan ideologi barat, framing tersebut adalah pesan tersirat yang ingin disampaikan Majalah Time. 

Bahwa bangsa-bangsa barat khususnya Amerika masih ragu terhadap komitmen Arab Saudi, untuk menjalin hubungan perahabatan denga Amerika dalam kepentingan ekonomi dan politik mereka. 

Matthew Martin Jurnalis Mining.com menjelaskan, Arab Saudi memiliki target untuk menguasai pabrik Almunium milik Bahrain. 

Ini adalah cara untuk mencapai tujuan menjadikan sektor pertambangan sebagai pilar ketiga ekonomi kerajaan, Arab Saudi sendiri juga memiliki perusahaan tambang bernama Ma'aden. 

Pada pertengahan September kemarin mereka melakukan beberapa transaksi saham bersama Almunium Bahrain BSC, pemimpin pemerintahan Saudi Mohammed Bin Salman menjadikan pertambangan logam sebagai prioritas. 

Untuk mencpai visi mereka di tahun 2030, Ma'aden dijadikan mesin uang untuk mengembangkan dan menguatkan ekonomi dalam negeri Arab Saudi saat ini.

Wasiat Islam Arab Saudi

Untuk mewujudkan ambisinya Mohammed Bin Salman membuktikannya dengan melakukan beberapa gebrakan dalam kebijakannya, yakni menerapkan nilai-nilai Islam moderat untuk Arab Saudi sebuah agama yang tidak ekstrim dan radikal. 

Islam sebagai ideologi yang tidak memaksakan kehendak dan terbuka terhadap perkembangan zaman, Putra Mahkota ini melihat selama beberapa puluh tahun terakhir ideologi islam di Arab terlalu kaku. 

Menurutnya pemahaman islam yang terlalu keras, tidak sesuai dengan cita-cita Revolusi Islam Iran yang diperjuangkan pemimpin-pemimpin Arab sebelumnya. 

Beliau menganggap selama ini bangsa Arab belum menemukan cara yang tepat untuk menyikapi Revolusi Islam, sehingga cenderung tertutup terhadap ideologi-ideologi lain. 

Dr. Doron Itzchakov Pakar Sejarah dan Politik Iran menjelaskan setiap tanggal 8 Juni, orang-orang Iran merayakan Hari Quds yang telah menjadi tradisi sejak pertama kali berdirinya Republik Islam Iran pada 1979. 

Dalam jurnalnya di The Begin Sadat Center for Strategic Studies dijelaskan, bahwa Hari Quds ditujukan sebagai dukungan kepada Palestina. 

Republik Islam Iran memang sejak awal dengan tegas memusuhi Israel yang melakukan genosida terhadap Palestina selama puluhan tahun, gerakan Revolusi Islam yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini. 

Adalah bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Shah (Raja Iran) yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, sepanjang era kekuasaannya terjadi krisis ideologi dan nilai-nilai islam di masyarakat Iran. 

Dalam bukunya yang berjudul 'Velayat-e Faqih Hokumat-e Eslami' Khomeini menjelaskan, secara detail tentang musuh-musuh Islam buku ini kemudian menjadi dasar dalam perancangan Konstitusi Iran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun