Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis & Konten Kreator Multi Talenta

Melihat berbagai peristiwa dari berbagai manusia dan berbagai sudut pandang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Massa Adalah Alat Politik (Bukan Penyambung Lidah Rakyat)

22 Maret 2023   14:47 Diperbarui: 22 Maret 2023   14:56 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori-Teori Media Massa

Dalam teori Uses and Effect yang merupakan dari Uses and Gratification dikatakan bahwa audiens atau khalayak sebagai pengguna media massa, pasti terkena efek dari berita media massa yang mereka konsumsi mulai dar efek kognitif (pikiran), afeksi (perasaan), dan behavioral (perilaku). 

Di era media massa khususnya digital seperti sekarang masyarakat melakukan aktivitas pencarian informasi secara aktif di media, sehingga membuat teori Uses and Gratification ini terbuktui dan terlihat jelas. 

Ada juga teori The Limited Effect Models (teori efek terbatas) yang berangkat dari konsep Psiko-Humanisme, teori ini menganggap bahwa audiens adalah pihak yang paling berkuasa dalam menentukan jalannya media. 

Riset tentang media massa sangat popular di ranah penelitian media, khususnya berfokus pada ketetapan isi dan efek media massa terhadap masyarakat. 

Severin & Tankard pada 1979 meneliti tentang perkemabangan media massa, kemudian mengasumsikan beberapa teori mulai dari The Powerful Effect Models, Jarum Hipodermik, Stimulus Respon (SR Theory). 

Sampai Bullet Theory yang semuanya menganggap bahwa media sangat kuat, dalam mempengaruhi pikiran hingga tindakan khalayak bahkan efeknya bisa dirasakan dan terlihat secara langsung. 

Pada era ini riset cenderung berfokus ke kajian mengenai isi dan dampak media, sehingga membuatnya berkaitan langsung dengan orang-orang yang bekerja di dalamnya seperti wartawan, editor, reporter, sampai redaktur sebagai objek penelitian.

AA Bambang A.S, Periode Perkembangan Media Massa, Jurnal Studi Komunikasi dan Media (2014, hlm 124)

Komunikasi Politik di Media Massa

Jika berbicara tentang komunikasi politik konsep ini sebenarnya sudah dibahas sejak tahun 1922 namun baru diakui oleh para akademisi di tahun 1970 sebagai kajian akademik, komunikasi politik menjadi sub-bidang ilmu pengetahuan politik, dimana awalnya para ilmuwan meneliti tentang perubahan opini publik, kemudian dikaitkan dengan propaganda, lalu dari sana muncul teori media kritis. 

Perbedaan pandangan di kalangan akademisi politik memunculkan banyak argumen, perselisishan, dan persilangan pendapat dan inilah yang disebut kegiatan politik, secara definitif politik belum bisa diartikan secara baku. 

Beberapa akademisi mengartikan politik sebagai kegiatan kolektif sekelompok orang yang mengatur tindakan mereka, dalam kondisi atau proses pemerintahan yang seringkali menjurus kepada konflik. 

Kantapwira pada 1983 memfokukan pembahasan mengenai konsep politik pada kegunaanya, yakni mengaitkan pemikiran politik di masyarakat, baik pikiran di dalam golongan, institusi, asosiasi, maupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan pemerintah. 

Dengan begitu segala pemikiran ide atau upaya mencapai pegaruh/kekuasaan, segala sesuatu yang diharapakan, dapat tercapai melalui komunikasi politik. 

Karena pada dasarnya segala ide atau kebijakan harus ada penyampainya da nada penerimanya, baru dari situ bisa disebut dengan proses komunikasi politik dimana sebuah pesan politik disampaikan kemudian diterima oleh khalayak. 

Jika dilihat dari tujuannya pada dasarnya komunikasi politik, merupakan usaha sekelompok orang yang mempunyai pemikiran atau ideologi tertentu untuk memperoleh kekuasaan.

Tati Sarihat dkki, Komunikasi Politik Media Massa dan Opini Publik, Rajawali Pers (2019, hlm 5-6)    

 

Media Massa sebagai Alat Kampanye Politik

Di tengah suasana politik yang memanas media massa berubah menjadi alat untuk kampanye yang tentunya tidak akan objektif, prinsip utama media massa sebagai penyambung aspirasi masyarakat sudah dipatahkan karena pasa teorinya media massa harus hadir, sebagai pihak netral yang mengedepankan objektivitas. 

Faktanya media massa saat ini sudah menjadi alat politik bagi pihak tertentu yang berkepentingan atau menginginkan kekuasaan politik, ini membuat media massa yang digunakan sebagai media politik menjadi sangat subjektif. 

Dalam kondisi seperti ini media massa jelas mengalami dilema, karena hadirnya para politisi yang mendekati bahkan mengakusisi saham media bukanlah tanpa tujuan. 

Misalnya seorang calon Bupati dan Wakil Bupati berkunjung ke kantor media dengan dalih ingin bersilaturahmi, padahal mereka ingin bekerja sama dengan media tersebut agar memberitakan atau mempublikasi, visi dan misi mereka serta membangun citra positif mereka dalam berita yang mereka buat. 

Meskipun media sudah berusaha se-objektif mungkin, namun tetap saja mereka sulit menolak tawaran politisi tersebut karena di satu sisi juga menguntungkan mereka. 

Bagi media berita lokal iklan politik tentu sangat menggiurkan karena bayarannya sangat mahal, seringkali para politisi yang datang ke Redaktur selalu menawarkan iklan untu dimuat dalam berita mereka, dengan harga yang sangat tinggi ini yang membuat Redaktur sulit untuk menolak. 

Sampai pada batasan tertentu memang media masih bisa menyajikan berita yang berimbang dan objektif, namun ketika politisi datang ke Redaksi mereka untuk menyampaikan visi misi, berdiskusi terkait untuk daerahnya, atau meminta masukan itu sudah lain ceritanya.

Roni Tabroni, Etika Komunikasi Politik dalam Ruang Media Massa, Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Sangga Buana (2014, hlm 5)

 

Fungsi Politik Media Massa

Praktek media massa sejak zaman reformasi pasca 1998 memiliki berbagai macam kisah dan problema yang menyertainya, secara normatif media massa merupakan pihak yang objektif dan berjalan berdasarkan kebenaran sebagai wadah bagi masyarakat untuk berekspresi. 

Ada 2 kebijakan pasca reformasi yang menjadi peraturan hukum bagi media, yakni UU Pers No. 40/1999 dan UU Penyiaran No. 32/2002. 

Di era reformasi juga muncul amandemen UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 yang menjamin hak warga negara, dalam mendapatkan akses informasi dan media. 

Secara historis memang reformasi merupakan titik balik dari kebebasan pers dan media massa, juga kebangkitan asas Hak Asasi warga negara dalam berekspresi, berpendapat, dan mengakses informasi. 

Namun di sisi lain saat ini media massa melihat kepentingan masyarakat terutama kelompok yang terpinggirkan, sebagai aspirasi yang tidak terlalu penting dan harus dipublikasi. 

Media cenderung membiarkannya dan menggunakan aspirasi manipulatif baik lewat ideology mereka, maupun dengan propaganda dari politis atau pihak tertentu yang dimuat dalam berita mereka, tujuannya tentu adalah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. 

Sedangkan pihak yang lebih kuat seperti elit-elit politik lebih banyak mendapat fasilitas di media, sebagai tokoh publik mereka bisa kapan saja menyebarkan ideologi dan kepentingannya di media baik dalam bentuk siaran atau tulisan. 

Herman dan Chomsky menjelaskan bahwa media selalu berisiko untuk dimanipulasi, oleh kelompok-kelompok kuat yang lebih berkuasa dibandingkan kelompok lain.

Dedi Kusuma Habibie, Dwi Fungsi Media Massa, Jurnal Ilmu Komunikasi UGM (2018, Vol 2, hlm 82)   

Agenda Setting Media

Sejak munculnya teori Uses and Gratification pada 1968 McCombs dan Shaw berusaha mengembangkan sebuah pendekatan baru, untuk mengamati musim politik pemilihan presiden pada saat itu. 

Penelitian Lazarsfield di Erie Country pada 1946, membuat tingkat kepercayaan pada efek komunikasi massa di kalangan para ilmuwan menurun. 

Maxwell C. McCombs Profesor Peneliti Surat Kabar, Direktur pusat penelitian komunikasi Univrsitas Syracuse dan Donald L. Shaw Profesor Jurnalistik Universitas North Carolina, adalah tokoh kuci dari munculnya teori Agenda Setting media. 

Teori ini menjelaskan bahwa media massa selalu digunakan sebagai alat komunikasi politik untuk mempengaruhi opini publik, sesuatu yang dianggap penting oleh media otomatis akan dianggap penting juga oleh masyarakat. 

Agenda Setting memiliki asumsi, bahwa ada hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media terkait suatu isu atau fenomena dengan perhatian khalayak. 

Dengan kata lain khalayak akan memperhatikan suatu isu yang dinilai oleh media sebagai sesuatu yang penting, apalagi jika diberitakan secara masif dan terus-menerus. 

Media massa terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam menonjolkan suatu isu atau tokoh tertentu, contohnya Richard Nixon pada 1968 berhasil mengalahkan saingannya Hubert Humprey, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat setelah lama ia tidak muncul di media. 

Menurut beberapa pengamat politik Nixon berhasil karena menggunakan media massa sebagai alat politiknya, dia selalu memberikan senyuman ramah kepada reporter dan wartawan, sehingga itu menjadi branding politik yang ia bangun di media membuat potretnya selalu terpampang di halaman depan media massa.

Henry Subiakto, Komunikasi Politik Media dan Demokrasi, Prenada Media (2014, hlm 13-14)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun