Faktanya media massa saat ini sudah menjadi alat politik bagi pihak tertentu yang berkepentingan atau menginginkan kekuasaan politik, ini membuat media massa yang digunakan sebagai media politik menjadi sangat subjektif.Â
Dalam kondisi seperti ini media massa jelas mengalami dilema, karena hadirnya para politisi yang mendekati bahkan mengakusisi saham media bukanlah tanpa tujuan.Â
Misalnya seorang calon Bupati dan Wakil Bupati berkunjung ke kantor media dengan dalih ingin bersilaturahmi, padahal mereka ingin bekerja sama dengan media tersebut agar memberitakan atau mempublikasi, visi dan misi mereka serta membangun citra positif mereka dalam berita yang mereka buat.Â
Meskipun media sudah berusaha se-objektif mungkin, namun tetap saja mereka sulit menolak tawaran politisi tersebut karena di satu sisi juga menguntungkan mereka.Â
Bagi media berita lokal iklan politik tentu sangat menggiurkan karena bayarannya sangat mahal, seringkali para politisi yang datang ke Redaktur selalu menawarkan iklan untu dimuat dalam berita mereka, dengan harga yang sangat tinggi ini yang membuat Redaktur sulit untuk menolak.Â
Sampai pada batasan tertentu memang media masih bisa menyajikan berita yang berimbang dan objektif, namun ketika politisi datang ke Redaksi mereka untuk menyampaikan visi misi, berdiskusi terkait untuk daerahnya, atau meminta masukan itu sudah lain ceritanya.
Roni Tabroni, Etika Komunikasi Politik dalam Ruang Media Massa, Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Sangga Buana (2014, hlm 5)
Â
Fungsi Politik Media Massa
Praktek media massa sejak zaman reformasi pasca 1998 memiliki berbagai macam kisah dan problema yang menyertainya, secara normatif media massa merupakan pihak yang objektif dan berjalan berdasarkan kebenaran sebagai wadah bagi masyarakat untuk berekspresi.Â
Ada 2 kebijakan pasca reformasi yang menjadi peraturan hukum bagi media, yakni UU Pers No. 40/1999 dan UU Penyiaran No. 32/2002.Â