Awan kelam, sekelam hatiku kini, yang tak mampu menerima cahaya cinta. Sulit sekali aku meraba cahayamu, kekasihku. Kau begitu kelam, dan semakin kelam, sejak aku mulai menjauh dari pandanganmu, sejak aku menjauh dari suara indah tentangmu, sejak aku jatuh terbuai pencarian harta, sampai aku tersesat olehnya.
Akhirnya aku tersekap sejenak di ambang badai.
***
Matahari seakan dalam kondisi terbaiknya, lalu dia muntahkan energi pamungkasnya untuk mengakhiri perlawanan awan yang semakin terkumpul dalam ketakutan. Beberapa detik kemudian, awanpun menyerah, meleleh, luluh, oleh energi panas matahari. Hancur sudah pertahana, jebol, membludak, menghujam bumi tanpa basa-basi.
***
Hujan turun, hujan turun juga akhirnya. Ah, inilah aku, kunikmati setiap detiknya guyuran hujan ini, biarkan mereka menjamah badan letihku, biarkan mereka basahi kering hatiku ini. Biarlah badai ini berlanjut, biarlah badai ini menerpaku. Sampai nanti, badai pasti akan berlalu. Lalu, kutemukan sinar cinta yang baru, yang penuh dengan beningnya cakrawala menyambut datangnya cinta baru yang lebih terang.
Tulisan ini saya ambil dari blog saya:
http://zasseka.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H