Mohon tunggu...
Saseka Pramanca
Saseka Pramanca Mohon Tunggu... profesional -

Saya hanya mencoba berkarya. Melakukan apapun yang saya bisa. Mencoba menulis. Siapakan saya (lelaki*) – jika tidak mencoba menjadikan hidup ini lebih baik. hidupku untuk hidupku dalam hidupku Bagi kawan-kawan yang sudah mau membaca coretan-coretan saya yang jauh dari baik, saya sangat berterimakasih. Sangat diharapkan komentar-komentarnya, saran dan kritik buat saya. Terimakasih. Salam dariku: Daniel Saseka Pramanca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai

11 September 2012   01:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:39 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bongkahan-bongkahan awan memanggil-manggil, “Hai, Matahari, lawan aku jika kau hendak ke bumi!”

Lalu, Mataharipun berusaha keras melawan awan-awan sombong itu. Tapi apalah daya, hanya keputus-asaan semakin menyelimutinya, ketika awan memanggil teman-temannya yang lain.

“Ah, sepertinya aku tidak bisa menerobos pagar betis awan, ketika mereka semakin tebal. Aku harus berpikir untuk mengikisnya, dengan bara api ku, biar dia leleh dan tumpah memenuhi bumi.”
***

Mendung menjadi, kelamnya selimuti seluruh bumi. Ayampun enggan keluar dari persembunyian hangat nya, dan sebentar-sebentar dari mereka memperingatkan yang lainnya, untuk tidak gegabah keluar dari sarangnya. Sedangkan burung-burung hilir mudik memanggil-manggil kawanannya. “Ayo-ayo pulang! Langit sebentar lagi runtuh!”
***

Angin gelisah, membabi-buta, menyerakan segala yang ada. Mencari hangat, yang semakin membingungkannya. Ada yang ke arah barat, dan sebagian ke utara, bahkan ada yang mencoba ke atas, kemudian menukik ke bawah. Angin panik. “Dimana kehangatan kau rasakan?” Salah satu rombongan angin bertanya kepada yang lainnya, dan yang lainnya pun menjawab, “Sepertinya di segala penjuru mataku hangat, tapi sebentar kemudian hilang juga.”

Akhirnya kedua rombongan itu berhenti sejenak, berdiskusi sembari keatas dan beberapa perbedaan pendapat membuat mereka berpindah tempat duduk, dan akhirnya memutar-mutar tak tentu, lalu berebut kebenaran arah. Tak ayal pohon-pohon, rumah-rumah, dan apapun di dekat mereka menjadi korban diskusi mereka yang tak kunjung selesai.

“Hei, mengapa tidak ke arah laut saja, mungkin air lebih lama menyisakan sedikit hangatnya!” Kemudian akhirnya diskusi itu sepakat ke arah laut. Masih saja dengan kebimbangan, mereka terbang rendah, yang akhirnya menyeret kapal dan perahu yang mereka lewati.
***

“Kekasihku, mengapa kau begitu mudah melupakan perasaan yang sudah kita jalin begitu lama. Mengapa kau begitu saja, meninggalkanku dengan alasan-alasan yang tak masuk akal bagiku? Bukankah aku sudah tanamkan rasa cintaku seutuhnya padamu?”

Banyak pertanyaan tentangmu dan tentangku sendiri, berkecamuk di dada yang mulai sesak ini. Tak seharusnya kumencitai jika akhirnya kau bersama orang lain, dengan alasan aku tak pernah ada perhatian untukmu. Percuma aku kumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yang ku tujukan untuk kita berdua kelak, jika malah akhirnya kau meninggalkanku. Sia-sia saja usaha kerasku, membabi-buta mencari harta, yang buatku lupa bahwa aku punya kau, kekasihku. Sepertinya sudah tidak ada kesempatan lagi, setelah cintamu sudah kau berikan padanya, seseorang yang selalu berusaha denganmu.

Aku tinggalkan rumah indahku, aku menuju pantai tempat biasa kita memimpikan keindahan masa depan, tempat kita membenamkan mimpi lautan, tempat kita berkata-kata pada gemuruh ombak.

Ombak kali ini berbeda, mereka tak mengatakan apapun. Tidak seperti ketika kita disini bersama, menyatukan hati, bersama gemuruh kata-katanya. Ombak kali ini gelisah, mencoba melawan angin yang tak jelas datangnya, seperti alasan-alasan yang kau berikan padaku. Angin menari-nari lagu kematian, tanpa irama, berteriak-teriak, menggaduh, dan sesekali menjerit mencekam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun