misalnya masyarakat pekerja bangunan, menggunakan ungkapan bahasa yang barangkali secara linguistik dapat dikatakan tidak memenuhi persyaratan. Seorang yang mengungkapkan 'papan', 'balok', 'tiang' misalnya dapat ditangkap oleh lawan bicaranya sebagai suatu makna tertentu yang mana kesemuanya itu hanya dipahami aturannya pada komunitas tersebut.
Aspek lain dalam linguistik pragmatic adalah masih adanya kecenderungan mengembangkan aspek normatif seperti yang dilakukan oleh linguistik struktural, misalnya aturan dalam tindakan bahasa, macam-macam tindakan bahasa, norma sopan santun, validitas tuturan, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan serta parameter pragmatik.Â
Jika cara kerja epistemologi linguistik pragmatik seperti itu, konsekuensinya kajian pragmatik kembali terjerumus pada ilmu yag bersifat nomothetic. Wittgenstein mengembangka suatu paradigma yang jelas, bahwa dala teori tata permainan bahasa tersebut setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusiamemiliki aturannya masing-masingÂ
yang sangat beragam serta tidak terbatas. Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secara normatif, serta sulit ditentukan batas-batasnya secara tepat,Â
tetapi manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa dalam setiap aspek kehidupan yang sangat beragam. Oleh karena itu, pemikiran Wittgenstein inilah sangat relevan untuk pengembangan objek kajian linguistik pragmatik pada aspek kualitas bahasa yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H