2.2 Kuantifikasi dan Model Matematika
Salah satu metode yang sangat populer dalam ilmu alam adalah pendekatan kuantitatif yang memungkinkan ilmuwan untuk merumuskan hukum-hukum alam dalam bentuk model matematika. Ini tercermin dalam karya-karya fisikawan seperti Isaac Newton dan Albert Einstein yang menggambarkan fenomena alam menggunakan persamaan matematika yang ketat. Dalam metodologi ilmiah, model-model matematika ini sangat membantu dalam membuat prediksi yang dapat diuji kebenarannya melalui eksperimen dan observasi.
2.3 Kritik terhadap Positivisme: Falsifikasi dan Tesis Revolusi Ilmiah
Namun, positivisme menghadapi kritik yang tajam, terutama dari para pemikir seperti Thomas Kuhn dan Karl Popper. Popper berpendapat bahwa teori ilmiah yang benar adalah teori yang dapat diuji dan berpotensi untuk dibuktikan salah---sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh teori verifikasi yang diajukan oleh positivisme. Menurut Popper, sebuah teori ilmiah harus terbuka untuk pengujian dan falsifikasi agar ia tetap memiliki nilai ilmiah.
Thomas Kuhn (1962), dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, memperkenalkan konsep paradigma ilmiah dan revolusi ilmiah. Kuhn berpendapat bahwa ilmu berkembang dalam kerangka paradigma yang diterima oleh komunitas ilmiah, namun ketika akumulasi anomali dalam paradigma yang ada tidak dapat dijelaskan lagi, akan terjadi revolusi ilmiah, yang menghasilkan perubahan paradigma besar dalam cara ilmuwan memandang dunia. Pandangan ini menunjukkan bahwa ilmiah tidak hanya berkembang secara linier, melainkan melalui perubahan revolusioner yang mengguncang landasan-landasan teori yang lama.
3. Metode Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Meskipun ilmuwan alam lebih sering menggunakan metode kuantitatif dan eksperimen, dalam ilmu sosial dan humaniora, metodologi cenderung lebih beragam. Dalam bidang ini, metode kualitatif sering digunakan untuk memahami fenomena sosial yang kompleks melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, atau studi kasus.
Metodologi kualitatif lebih menekankan pemahaman konteks dan makna subjektif yang ada di balik data yang diperoleh. Max Weber, seorang sosiolog Jerman, berargumen bahwa untuk memahami fenomena sosial, kita harus melakukan apa yang dia sebut sebagai verstehen atau "pemahaman empatik". Ini berarti memahami bagaimana individu atau kelompok memaknai tindakan dan keputusan mereka dalam konteks sosial tertentu.
Dalam konteks ini, interpretivisme menekankan pentingnya memahami subyektivitas manusia sebagai bagian integral dari pengetahuan sosial, berbeda dengan pendekatan positivis yang mengutamakan objektivitas dan verifikasi empiris. Aliran ini berusaha mengungkap makna di balik tindakan sosial, seringkali melalui studi naratif atau analisis teks.
4. Metodologi Ilmu dalam Konteks Kontemporer
Di era digital ini, metodologi ilmiah juga mengalami perkembangan yang signifikan. Big data dan analisis komputasional menjadi semakin penting, terutama dalam bidang seperti ilmu komputer, ekonomi, dan ilmu sosial. Teknik-teknik seperti machine learning dan analisis statistik lanjutan memungkinkan ilmuwan untuk menangani data dalam jumlah besar, dan menarik kesimpulan yang sebelumnya tidak dapat dicapai dengan metode tradisional.
Namun, ini juga membawa tantangan baru terkait dengan etika penelitian dan validitas data. Dalam konteks ini, metodologi ilmu harus diperluas untuk memasukkan pertimbangan etis dalam pengumpulan, analisis, dan interpretasi data.
5. Kesimpulan