Hal fundamental lainnya adalah soal Pengelolaan dana Jaminan Sosial, dalam UU SJSN, maupun RUU BPJS insiatif DPR disebutkan bahwa dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya, kebijakan pengembangan atau investasi ini bahkan bersifat wajib, bahkan dalam Rancangan BPJS versi KAJS, dalam mengoptimalisasi pengembangan dana iuran ini, Dewan Wali Amanat akan membentuk komite-komite khusus, salah satu komite yang akan dibentuk adalah Komite Investasi yang tugasnya a) melakukan analisa keadaan dan perkembangan ekonomi serta prospek investasi; b) menyusun rancangan garis besar kebijakan investasi, strategi alokasi aset, dan pedoman pelaksanaan investasi; c) memberikan saran-saran kepada Direksi mengenai pengelolaan dan investasi BPJS; d) melakukan evaluasi atas pelaksanaan investasi BPJS yang dilakukan oleh direksi.
Baik dalam UU SJSN maupun dalam RUU BPJS inisiatif DPR maupun Rancangan UU versi KAJS, tidak diatur secara tegas tentang kebijakan pengaturan investasi ini, selain mewanti-wanti dengan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti: pengembangan tersebut harus benar-benar memperhatikan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Sekalipun begitu, dalam melaksanakan investasi, tetap saja mengandung resiko bahwa dana yang dikembangkan tidak kembali, seperti pengalaman PT. Askes yang kehilangan dana hasil pengumpulan iuran dari pesertanya sebanyak Rp1,73 triliun, yang ujung-ujungnya pemerintah (baca: rakyat) yang harus menanggungnya, atau cara yang lain, untuk mengurangi resiko Pemerintah, BPJS bisa saja menjaminkan keamanan investasinya kepada perusahaan sekuritas, namun seperti yang selama ini kita ketahui, akibat dari pengembangan usaha sekuritas, justru telah menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara maju.
Dan yang paling mengerikan, pengembangan dana tersebut membolehkan untuk digunakan dalam pembelian surat-surat berharga tertentu, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa sektor spekulasi jelas bukanlah sektor yang mampu mendorong peningkatan produktifitas nasional/tidak produktif, saat ini, justru dalam rangka menunjang program Jaminan Sosial itu sendiri, pengembangan seharusnya sepenuhnya masuk kedalam sektor-sektor yang dapat meningkatkan tenaga produktif rakyat/manusia (misalnya: mendirikan sekolah-sekolah kedokteran dan perawat kesehatan, mendirikan rumah sakit/puskemas sampai ke pelosok-pelosok desa, membuat pabrik-pabrik farmasi dan lembaga riset agar obat-obatan kita melimpah dan bermutu baik dlsb).
Memang didalam RUU BPJS inisiatif DPR ataupun dalam Rancangan UU versi KAJS tercantum, selain memperbolehkan investasi kedalam sektor spekulasi, juga investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial, namun pasal ini masih sangat multi tafsir, apa yang dimaksud dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial? Apakah misalnya dengan menginvestasikannya dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur untuk menarik minat investasi di Indonesia bisa digolongkan untuk kesejahteraan rakyat?
VI. UU SJSN belum mencakup Jaminan Pendidikan gratis untuk rakyat
Masalah lainnya adalah tentang program-program Jaminan Sosial, dalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR hanya menyebutkan jenis program Jaminan Sosial hanyanyalah sebagai berikut: 1) Jaminan Kesehatan; 2) Jaminan Kecelakaan Kerja; 3) Jaminan Hari Tua; 4) Jaminan Pensiun dan 5) Jaminan Kematian. Sedangkan dalam Rancangan UU versi KAJS ditambah manjadi: 6) Jaminan Pengangguran, dimana dalam UU SJSN ataupun dalam RUU BPJS inisiatif DPR, tunjangan bagi pengangguran tidak diatur/tidak masuk, yang disebut sebagai Jaminan Pengangguran dalam rancangan KAJS adalah Jaminan yang diberikan kepada peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja sebelum mencapai usia pensiun normal atau pensiun muda atau pensiun dipercepat. Namun posisi ini tidak terlalu kuat diperjuangkan, karena KAJS samasekali tidak menggugat Pemerintah dalam hal perubahan UU No. 40 tahun 2004 yang juga tidak memuat Jaminan Pengangguran (sama halnya dengan ajuan tentang pembagian beban iuran bagi pemberi kerja dan pekerja/buruh. Gugatan yang diajukan selama ini adalah UU SJSN yang mestinya harus sudah dilaksanakan secara penuh paling lambat tanggal 19 Oktober 2009 lalu, tetapi nyatanya hingga saat ini belum juga terbentuk UU BPJS-nya, dan belum satu pun Peraturan Pemerintah (PP) dibuat dari 11 (sebelas) PP yang diperintahkan UU SJSN, dan baru 2 (dua) Peraturan Presiden (Perpres) yang dibuat dari 10 (sepuluh) Perpres yang diperintahkan UU SJSN, sehingga SJSN tidak bisa dijalankan.
Sedangkan program lain, yang tak kalah pentingnya dan harus masuk dalam SJSN adalah program tentang Jaminan Pendidikan. Program ini penting untuk dimasukkan, karena menyangkut persoalan peningkatan tenaga produktif rakyat, Kuba bisa menganggarkan 6,7% dari PDB-nya untuk anggaran pendidikan dan mengratiskan biaya masuk Perguruan Tinggi sejak tahun 2000, sementara di Indonesia, anggaran untuk subsidi pendidikan kurang dari 2% saja.
VII. Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Didalam konsep RUU BPJS inisiatif DPR, BPJS dibentuk dengan cara menggabungkan/meleburkan 4 (empat) Perusahaan Perseroan (Persero), yaitu Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Sipil (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) menjadi 1 (satu) BPJS, BPJS dijalankan/dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang memimpin bidang-bidang, yaitu: Bidang Pelayanan bidang Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja; Bidang Pelayanan bidang Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian; Bidang Keuangan dan Investasi; Bidang Pengembangan, Sumber Daya Manusia, dan Sistem Informasi. Kemudian kepesertaan Jaminan Sosialnya akan dialihkan menjadi Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang baru. Sedangkan untuk Kekayaan Perusahaan masing-masing Perseroan (Persero) akan dialihkan menjadi kekayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program.
Sementara KAJS berpendapat, bahwa masing-masing Perseroan (Persero), dalam hal ini ada 4 Perseroan (Persero), harus memiliki BPJS sendiri-sendiri, yaitu: Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan Rakyat, disingkat BP ASKES untuk menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan seumur hidup bagi seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam dan di luar wilayah Republik Indonesia tanpa kecuali; Badan Penyelenggara Tabungan dan Asuransi Sosial Pegawai Negeri, disingkat BP TASPEN untuk menyelenggarakan Program Tabungan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil termasuk Pekerja Harian Lepas (PHL), Pekerja Tidak Tetap (PTT) dan Guru Honorer yang dipekerjakan dilingkungkan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan Penyelenggara Asuransi Sosial Anggota TNI dan POLRI, disingkat ASABRI untuk menyelenggarakan Program Tabungan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian bagi seluruh Prajurit TNI, Anggota Polisi dan PNS pada kementerian pertahanan termasuk Veteran, PKRI, KNIP; Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disingkat BP JAMSOSTEK untuk menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Pengangguran bagi seluruh tenaga kerja yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan swasta, BUMN, BUMD, pekerja informal yang bekerja di dalam maupun di luar negeri termasuk petani, nelayan dan yang tidak terikat hubungan kerja. Setiap BPJS bertugas menyelenggarakan program Jaminan sosial bagi pesertanya, jadi tidak ada pengalihan kepesertaan. Dan untuk kekayaan masing-masing Perusahaan Perseroan (Persero), tetap menjadi kekayaan masing-masing BPJS.
Dalam konsep KAJS, pemisahan BPJS menjadi 4 tersebut, selain dengan alasan-alasan legal formal sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004, alasan lainnya adalah: pertama soal pendanaan Jaminan Sosial yang berasal dari berbagai sumber yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan, kedua kesulitan teknis dalam proses penggabungan ke empat Perseroan (Persero), ketiga menghindari terjadinya subsidi silang (hal ini juga dilarang oleh RUU BPJS inisiatif DPR), keempat perbedaan karakteristik masing-masing Jaminan Sosial dan kelima infrastruktur yang sudah dimiliki oleh masing-masing Perseroan (Persero), sehingga tinggal mengoptimalisasi fungsinya saja.