Dalam UU SJSN, fakir miskin dan orang yang tidak mampu akan mendapatkan bantuan iuran dari pemerintah. Namun difinisi fakir miskin dan orang yang mampu tidak didalam UU SJSN ataupun RUU inisiatif DPR, apakah akan menggunakan standart kemiskinan BPS atau yang lain, tidak jelas. Difinisi fakir miskin dan orang tidak mampu justru lebih jelas kita temui dalam Rancangan UU versi KAJS, yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu adalah orang yang berpenghasilan tidak lebih dari ketentuan upah minimum yang berlaku di Propinsi atau Kabupaten atau Kota, dan/atau berpenghasilan sebatas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Belajar dari pengalaman pelaksanaan program dan Jamkesmas/Jamkesda, selama ini, pemerintah memang telah menjalankan program bantuan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu melalui program Jamkesmas dan Jamkesda, namun program inipun masih menemui persolan, selain menyangkut keakuratan data tentang jumlah fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercatat hanya sebanyak 19.100.000 kepala keluarga atau 76,4 juta jiwa, juga tentang kategori fakir miskin dan orang tidak mampu itu sendiri, yaitu berpenghasilan dibawah US$ 1, padahal jika mengacu pada standard Bank Dunia saja (berpenghasilan dibawah US$ 2), jumlah penduduk miskin Indonesia adalah lebih dari 115 juta jiwa, padahal dengan pendapatan 2 Dollar Amerika (20.000 sehari atau 600.000 sebulan) sudah hampir pasti tidak akan sanggup mengakses kesehatan dengan baik, bahkan dengan konsep Upah Minimum yang diterapkan sekarang pun masih belum memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga rakyat yang berpenghasilan masih dalam batas upah minimum pun harus dikategorikan sebagai orang miskin atau orang yang tidak mampu, karena belum dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara layak bagi kemanusiaan.
Kelemahan lainnya yang paling utama adalah, konsep Jamkesmas/Jamkesda ini adalah kepesertaannya tidak universal, mencakup seluruh rakyat, sehingga tidak hanya fakir miskin dan orang tidak mampu saja yang tercover program ini, sedangkan kaum pekerja/buruh baik yang swasta ataupun pegawai negeri dibiarkan terjerat dalam kesulitan membiayai Jaminan Sosialnya, pelayanannya yang belum maksimal (masih dibatasi jenis obat, jenis pelayanan dan lain sebagainya), serta dibeberapa kasus, masih diberikan kepada perusahaan asuransi sebagai pengelolanya, seperti yang berjalan selama ini.
Konsekwensi SJSN yang berbentuk asuransi sosial adalah adanya kewajiban iuran bagi pekerja/buruh. Memang didalam konsep UU SJSN dan RUU inisiatif DPR sama-sama mengatur tentang pembagian beban iuran kepada pekerja/buruh dengan pemberi kerja/pengusaha dan pemerintah, yang diatur sebagai berikut: untuk kesehatan, ditanggung bersama antara penerima upah bersama dengan pemberi kerja, begitu juga dengan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, sedangkan untuk Jaminan Kecelakaan dan Jaminan Kematian seluruhnya menjadi tanggungan pemberi kerja. Berbeda dengan konsep KAJS, yang dituangkan dalam Rancangan UU BPJS-nya, pembagian beban antara pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha, mirip seperti yang berjalan selama ini dalam Jamsostek yaitu: untuk Program Jaminan Kecelakaan, Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kematian ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja/pengusaha atau pemerintah; sedangkan untuk Program Jaminan Hari Tua bebannya dibagi antara buruh dan pengusaha, yaitu 2% dari upah pokok dibebankan kepada buruh dan 3,7% dari upah pokok dibebankan kepada pemberi kerja/pengusaha dan pemerintah, namun sayangnya, konsep ini tidak masuk dalam pasal-pasal yang tegas (ditempatkan dalam kolom catatan/komentar dalam Rancangan UU BPJS versi KAJS).
Pasal-pasal ini selain akan berdampak diskriminasi terhadap pelayanan yang akan diterima, yaitu pelayanan yang diberikan akan disesuaikan dengan kontribusi peserta Jaminan Sosial, atau dengan kata lain semakin tinggi kontribusi iurannya, maka akan semakin tinggi pula pelayanan yang akan diterimanya, misalnya dalam bidang kesehatan: biaya maksimum untuk obat akan berbeda, fasilitas perawatan dan lain-lain.
Konsep wajib iuran bagi buruh juga tidak adil, seperti penjelasan sebelumnya tentang konsep upah minimum yang belum memenuhi KHL, menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, rata-rata rasio Indeks Harga Konsumen (IHK) terhadap Indeks Upah Riil (IUR) hanya sebesar 49%, artinya, dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan upah yang berlaku hanya mampu untuk mengkompensasi 49% perkembangan harga barang dan jasa. Dengan demikian secara rata-rata upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan hidup minimumnya, beban ini kedepan akan bertambah berat dengan kewajiban iuran untuk Jaminan Sosialnya. Sebagian besar dari upah buruh tersebut dirampok oleh Kapitalis dalam bentuk keuntungan perusahaan, keuntungan inilah yang sebagian dibayarkan dalam bentuk pajak kepada Negara, jadi, Negara dan kapitalis sebenarnya hidup dari hasil kerja buruh, maka menjadi tidak masuk akal apabila buruh dikenakan lagi wajib iuran.
IV. Tentang persoalan-persoalan pokok untuk Jaminan Kesehatan dalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR
Khusus untuk Jaminan Kesehatan, masih banyak kita temui kelemahan-kelemahannya, misalnya tentang pemberian kompensasi jika suatu daerah fasilitas kesehatannya minim, sehingga peserta membutuhkan rujukan/penanganan diluar daerahnya, didalam UU SJSN jika terjadi kasus-kasus seperti ini maka peserta hanya diberikan kompensasi, yang belum jelas besarannya, padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Indonesia, problem kesehatan masih sangat bermasalah (buruk), problem-problem tersebut terutama menyangkut ketersediaan (availability) fasilitas kesehatan berupa sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai kesehatan, klinik, dll) dan prasarana kesehatan seperti obat-obatan dan tenaga kesehatan, pada tahun 2001, rasio dokter masih 1 banding 13.000 penduduk sedangkan rasio dokter spesialis 1 banding 37.000 penduduk. Pada tahun 2003, tenaga kesehatan secara nasional berjumlah 270.846 orang yang terdiri atas 266.475 terdistribusi di berbagai daerah sedang sisanya 2.371 orang berada di tingkat pusat, bandingkan dengan kebutuhan tenaga kesehatan yang diperlukan sebanyak 1.535.000 orang. Dari segi distribusi obat, juga lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, dan masih banyak problem-problem lainnya, jadi dikhawatirkan pemberian konpensasi ini tidak akan cukup, bahkan hanya untuk transportasinya saja (jika misalnya si pasien bertempat tinggal di Papua dan harus berobat ke Jakarta/Surabaya/Makasar).
Dalam pasal-pasal yang lain juga masih ditemui pembatasan-pembatasan, seperti: harga maksimum obat-obatan, jenis-jenis pelayanannya (keberterimaan/acceptability), dan cakupan rumah sakit/klinik, sehingga tidak semua rumah sakit/klinik bisa diakses (accessability), sehingga sebenarnya SJSN inipun tidak akan gratis sepenuhnya.
Bahkan kita masih menemui pasal karet dalam UU SJSN, yaitu pasal tentang pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan (moral hazard), yang dapat menyebabkan peserta dikenai urun biaya walaupun sudah membayar iuran wajib secara langsung atau dibayar pemerintah, asumsi ini secara implisit menganggap seolah-olah rakyat bodoh, tidak mengerti persoalan dlsb, padahal seperti yang kita ketahui bersama, kenyataan hari ini adalah justru si pasien yang selalu menjadi korban praktek-praktek mafia obat dan penyalahgunaan pelayanan kesehatan dan lain sebagainya, ditengah-tengah sistem kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan pribadi dan pemerintahan yang korup.
V. Tentang pengembangan dana iuran peserta Jaminan sosial UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR