JAMINAN KESEHATAN UNTUK RAKYAT HARUS BENAR-BENAR GRATIS ! RAKYAT HARUS BENAR-BENAR TIDAK BOLEH BAYAR !
Oleh: Ganjar Krisdiyan
I. Pendahuluan
Jaminan Sosial sudah sejak setahun lalu marak menjadi bahan perdebatan, dikalangan gerakan secara umum dapat dibagi menjadi dua pendapat besar antara yang mendukung untuk segera dilaksanakannya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kelompok yang menolak UU tersebut. Kelompok pertama diwakili oleh Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) yang merupakan aliansi dari serikat-serikat buruh, dengan motor utamanya adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), sedangkan kelompok kedua diwakili oleh Koalisi Jaminan Sosial Pro Rakyat (KJSPR) yang dimotori oleh Dewan Kesehatan Rakyat (DKR). Isu tentang Jaminan Sosial menjadi penting, karena selain telah melibatkan dua konsolidasi besar, adalah juga dikarenakan menyangkut konsepsi yang diajukan masing-masing, sehingga penting bagi kita untuk memberikan posisinya.
II. Kritik substansial terhadap UU No. 40 Tahun 2004 dan RUU BPJS inisiatif DPR
Sekarang marilah kita melihat pada pokok yang lebih fundamental, terkait pertanyaan, apakah UU tentang Jaminan Sosial yang disusun oleh Pemerintah dan RUU BPJS inisiatif DPR atau KAJS menguntungkan rakyat atau tidak dan pertanyaan lanjutan apakah pemerintah mampu (memiliki dana yang cukup) untuk melaksanakan SJSN.
Secara substansi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengandung ruh Asuransi sosial (compulsory social insurance), seperti yang disampaikan sendiri oleh penyusunnya Prof. Dr. Yaumil Chairiah Agoes Achir, selaku Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial SJSN Nasional dan Dr. Sulastomo MPH, yang juga adalah mantan direksi Askes atau secara eksplisit juga dinyatakan dalam pasal-pasal undang-undang ini, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran untuk memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Tentang besaran iurannya, (menurut UU SJSN) akan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang selalu dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Konsep asuransi sosial ini, jelas bertentangan dengan keharusan negara untuk menjamin kesejahteraannya rakyatnya. Dengan mewajibkan iuran kepada rakyat, artinya rakyat harus menjamin sendiri dirinya dan keluarganya, atau dengan kata lain Jaminan Sosial tidak benar-benar gratis!
Keberatan utama pemerintah dalam menjalankan SJSN bagi seluruh rakyat adalah dengan menghitung kemampuan fiskal, menurut Askolani mewakili Ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Soemantri Brodjonegoro, disampaikan bahwa APBN akan terbebani Rp 94,85 trilyun yang berasal dari iuran jaminan kesehatan keluarga miskin dan tidak mampu serta iuran program jaminan sosial yang dibayar pemerintah sebagai pemberi kerja pegawai negeri, anggota Tentara Nasional dan Kepolisian RI (atau masih terdapat kekurangan Rp 30 trilyun untuk menutupi seluruh kebutuhan dana jaminan sosial) dari alokasi untuk belanja sosial tahun 2012 sebesar Rp 64,85.
Menurut para ekonom, alasan pemerintah tersebut tidak masuk akal, dan memang seolah-olah menjadi logis karena pertama pendanaan utama SJSN menurut UU No. 40 Tahun 2004 terutama berasal dari iuran peserta kedua dalam 10 tahun target kepesertaan SJSN memang diperuntukan terlebih dahulu bagi peserta dari 4 BUMN penyelenggara asuransi (PT. ASKES, PT. JAMSOSTEK, PT. ASABRI dan PT. TASPEN), yang secara bertahap akan diperluas menjangkau seluruh rakyat, artinya dalam tahap awal penerapan SJSN ini memang akan diberlakukan untuk pekerja. Ketiga dalam tahap awal juga pembiayaan SJSN terutama diperuntukan hanya untuk Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat, dimana saat ini untuk kebutuhan kesehatan, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Siti Fadilah Supari diperlukan dana sebesar Rp40 trilun, atau Rp25 triliun menurut hitungan Faisal Basri bahkan menurut hitungan DKR hanya dibutuhkan anggaran sebesar 17,5 triliun saja, kebutuhan dana ini jika diperhitungkan dengan dana yang ada untuk membiayai program-program sosial memang sudah cukup. Keempat proyeksi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang melebihi rata-rata 60% selama tahun 1995 hingga 2007, trutama sektor manufaktur dan perdagangan, sehingga kedua sektor ini akan sanggup menyerap tenaga kerja formal yang berpotensi membayar pajak dan iuran jaminan sosial dan bermuara pada peningkatan kemampuan fiskal negara.
Solusi-solusi tersebut jelas bukan jalan keluar, seandainyapun kita setuju bahwa yang terutama untuk digratiskan adalah Jaminan Kesehatan bagi rakyat (karena menyangkut tanggung jawab sosial Negara) –yang sebenarnya masih bisa dipenuhi oleh pemerintah dengan anggaran yang ada—, namun didalam UU SJSN, masih membebankan pekerja untuk mengiur dalam program kesehatan. Disamping masih ada persoalan lainnya, yaitu tentang pentahapan, baik jenis jaminannya dan jangkauan penerima manfaat Jaminan Sosial (10 tahun bagi yang bukan pekerja), artinya fakir miskin harus menanggung sekarat hingga 10 tahun kedepan karena hakhak sosialnya tidak dijamin negara, juga yang masih menjadi persoalan adalah adanya pembatasan-pembatasan dan kekurangan-kekurangan lainnya dalam program Jaminan Kesehatan (akan dijelaskan lebih lanjut secara khusus dalam sub tema berikutnya).
III. Kritik atas pasal-pasal didalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR
Dalam UU SJSN, fakir miskin dan orang yang tidak mampu akan mendapatkan bantuan iuran dari pemerintah. Namun difinisi fakir miskin dan orang yang mampu tidak didalam UU SJSN ataupun RUU inisiatif DPR, apakah akan menggunakan standart kemiskinan BPS atau yang lain, tidak jelas. Difinisi fakir miskin dan orang tidak mampu justru lebih jelas kita temui dalam Rancangan UU versi KAJS, yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu adalah orang yang berpenghasilan tidak lebih dari ketentuan upah minimum yang berlaku di Propinsi atau Kabupaten atau Kota, dan/atau berpenghasilan sebatas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Belajar dari pengalaman pelaksanaan program dan Jamkesmas/Jamkesda, selama ini, pemerintah memang telah menjalankan program bantuan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu melalui program Jamkesmas dan Jamkesda, namun program inipun masih menemui persolan, selain menyangkut keakuratan data tentang jumlah fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercatat hanya sebanyak 19.100.000 kepala keluarga atau 76,4 juta jiwa, juga tentang kategori fakir miskin dan orang tidak mampu itu sendiri, yaitu berpenghasilan dibawah US$ 1, padahal jika mengacu pada standard Bank Dunia saja (berpenghasilan dibawah US$ 2), jumlah penduduk miskin Indonesia adalah lebih dari 115 juta jiwa, padahal dengan pendapatan 2 Dollar Amerika (20.000 sehari atau 600.000 sebulan) sudah hampir pasti tidak akan sanggup mengakses kesehatan dengan baik, bahkan dengan konsep Upah Minimum yang diterapkan sekarang pun masih belum memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga rakyat yang berpenghasilan masih dalam batas upah minimum pun harus dikategorikan sebagai orang miskin atau orang yang tidak mampu, karena belum dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara layak bagi kemanusiaan.
Kelemahan lainnya yang paling utama adalah, konsep Jamkesmas/Jamkesda ini adalah kepesertaannya tidak universal, mencakup seluruh rakyat, sehingga tidak hanya fakir miskin dan orang tidak mampu saja yang tercover program ini, sedangkan kaum pekerja/buruh baik yang swasta ataupun pegawai negeri dibiarkan terjerat dalam kesulitan membiayai Jaminan Sosialnya, pelayanannya yang belum maksimal (masih dibatasi jenis obat, jenis pelayanan dan lain sebagainya), serta dibeberapa kasus, masih diberikan kepada perusahaan asuransi sebagai pengelolanya, seperti yang berjalan selama ini.
Konsekwensi SJSN yang berbentuk asuransi sosial adalah adanya kewajiban iuran bagi pekerja/buruh. Memang didalam konsep UU SJSN dan RUU inisiatif DPR sama-sama mengatur tentang pembagian beban iuran kepada pekerja/buruh dengan pemberi kerja/pengusaha dan pemerintah, yang diatur sebagai berikut: untuk kesehatan, ditanggung bersama antara penerima upah bersama dengan pemberi kerja, begitu juga dengan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, sedangkan untuk Jaminan Kecelakaan dan Jaminan Kematian seluruhnya menjadi tanggungan pemberi kerja. Berbeda dengan konsep KAJS, yang dituangkan dalam Rancangan UU BPJS-nya, pembagian beban antara pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha, mirip seperti yang berjalan selama ini dalam Jamsostek yaitu: untuk Program Jaminan Kecelakaan, Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kematian ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja/pengusaha atau pemerintah; sedangkan untuk Program Jaminan Hari Tua bebannya dibagi antara buruh dan pengusaha, yaitu 2% dari upah pokok dibebankan kepada buruh dan 3,7% dari upah pokok dibebankan kepada pemberi kerja/pengusaha dan pemerintah, namun sayangnya, konsep ini tidak masuk dalam pasal-pasal yang tegas (ditempatkan dalam kolom catatan/komentar dalam Rancangan UU BPJS versi KAJS).
Pasal-pasal ini selain akan berdampak diskriminasi terhadap pelayanan yang akan diterima, yaitu pelayanan yang diberikan akan disesuaikan dengan kontribusi peserta Jaminan Sosial, atau dengan kata lain semakin tinggi kontribusi iurannya, maka akan semakin tinggi pula pelayanan yang akan diterimanya, misalnya dalam bidang kesehatan: biaya maksimum untuk obat akan berbeda, fasilitas perawatan dan lain-lain.
Konsep wajib iuran bagi buruh juga tidak adil, seperti penjelasan sebelumnya tentang konsep upah minimum yang belum memenuhi KHL, menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, rata-rata rasio Indeks Harga Konsumen (IHK) terhadap Indeks Upah Riil (IUR) hanya sebesar 49%, artinya, dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan upah yang berlaku hanya mampu untuk mengkompensasi 49% perkembangan harga barang dan jasa. Dengan demikian secara rata-rata upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan hidup minimumnya, beban ini kedepan akan bertambah berat dengan kewajiban iuran untuk Jaminan Sosialnya. Sebagian besar dari upah buruh tersebut dirampok oleh Kapitalis dalam bentuk keuntungan perusahaan, keuntungan inilah yang sebagian dibayarkan dalam bentuk pajak kepada Negara, jadi, Negara dan kapitalis sebenarnya hidup dari hasil kerja buruh, maka menjadi tidak masuk akal apabila buruh dikenakan lagi wajib iuran.
IV. Tentang persoalan-persoalan pokok untuk Jaminan Kesehatan dalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR
Khusus untuk Jaminan Kesehatan, masih banyak kita temui kelemahan-kelemahannya, misalnya tentang pemberian kompensasi jika suatu daerah fasilitas kesehatannya minim, sehingga peserta membutuhkan rujukan/penanganan diluar daerahnya, didalam UU SJSN jika terjadi kasus-kasus seperti ini maka peserta hanya diberikan kompensasi, yang belum jelas besarannya, padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Indonesia, problem kesehatan masih sangat bermasalah (buruk), problem-problem tersebut terutama menyangkut ketersediaan (availability) fasilitas kesehatan berupa sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai kesehatan, klinik, dll) dan prasarana kesehatan seperti obat-obatan dan tenaga kesehatan, pada tahun 2001, rasio dokter masih 1 banding 13.000 penduduk sedangkan rasio dokter spesialis 1 banding 37.000 penduduk. Pada tahun 2003, tenaga kesehatan secara nasional berjumlah 270.846 orang yang terdiri atas 266.475 terdistribusi di berbagai daerah sedang sisanya 2.371 orang berada di tingkat pusat, bandingkan dengan kebutuhan tenaga kesehatan yang diperlukan sebanyak 1.535.000 orang. Dari segi distribusi obat, juga lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, dan masih banyak problem-problem lainnya, jadi dikhawatirkan pemberian konpensasi ini tidak akan cukup, bahkan hanya untuk transportasinya saja (jika misalnya si pasien bertempat tinggal di Papua dan harus berobat ke Jakarta/Surabaya/Makasar).
Dalam pasal-pasal yang lain juga masih ditemui pembatasan-pembatasan, seperti: harga maksimum obat-obatan, jenis-jenis pelayanannya (keberterimaan/acceptability), dan cakupan rumah sakit/klinik, sehingga tidak semua rumah sakit/klinik bisa diakses (accessability), sehingga sebenarnya SJSN inipun tidak akan gratis sepenuhnya.
Bahkan kita masih menemui pasal karet dalam UU SJSN, yaitu pasal tentang pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan (moral hazard), yang dapat menyebabkan peserta dikenai urun biaya walaupun sudah membayar iuran wajib secara langsung atau dibayar pemerintah, asumsi ini secara implisit menganggap seolah-olah rakyat bodoh, tidak mengerti persoalan dlsb, padahal seperti yang kita ketahui bersama, kenyataan hari ini adalah justru si pasien yang selalu menjadi korban praktek-praktek mafia obat dan penyalahgunaan pelayanan kesehatan dan lain sebagainya, ditengah-tengah sistem kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan pribadi dan pemerintahan yang korup.
V. Tentang pengembangan dana iuran peserta Jaminan sosial UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR
Hal fundamental lainnya adalah soal Pengelolaan dana Jaminan Sosial, dalam UU SJSN, maupun RUU BPJS insiatif DPR disebutkan bahwa dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya, kebijakan pengembangan atau investasi ini bahkan bersifat wajib, bahkan dalam Rancangan BPJS versi KAJS, dalam mengoptimalisasi pengembangan dana iuran ini, Dewan Wali Amanat akan membentuk komite-komite khusus, salah satu komite yang akan dibentuk adalah Komite Investasi yang tugasnya a) melakukan analisa keadaan dan perkembangan ekonomi serta prospek investasi; b) menyusun rancangan garis besar kebijakan investasi, strategi alokasi aset, dan pedoman pelaksanaan investasi; c) memberikan saran-saran kepada Direksi mengenai pengelolaan dan investasi BPJS; d) melakukan evaluasi atas pelaksanaan investasi BPJS yang dilakukan oleh direksi.
Baik dalam UU SJSN maupun dalam RUU BPJS inisiatif DPR maupun Rancangan UU versi KAJS, tidak diatur secara tegas tentang kebijakan pengaturan investasi ini, selain mewanti-wanti dengan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti: pengembangan tersebut harus benar-benar memperhatikan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Sekalipun begitu, dalam melaksanakan investasi, tetap saja mengandung resiko bahwa dana yang dikembangkan tidak kembali, seperti pengalaman PT. Askes yang kehilangan dana hasil pengumpulan iuran dari pesertanya sebanyak Rp1,73 triliun, yang ujung-ujungnya pemerintah (baca: rakyat) yang harus menanggungnya, atau cara yang lain, untuk mengurangi resiko Pemerintah, BPJS bisa saja menjaminkan keamanan investasinya kepada perusahaan sekuritas, namun seperti yang selama ini kita ketahui, akibat dari pengembangan usaha sekuritas, justru telah menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara maju.
Dan yang paling mengerikan, pengembangan dana tersebut membolehkan untuk digunakan dalam pembelian surat-surat berharga tertentu, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa sektor spekulasi jelas bukanlah sektor yang mampu mendorong peningkatan produktifitas nasional/tidak produktif, saat ini, justru dalam rangka menunjang program Jaminan Sosial itu sendiri, pengembangan seharusnya sepenuhnya masuk kedalam sektor-sektor yang dapat meningkatkan tenaga produktif rakyat/manusia (misalnya: mendirikan sekolah-sekolah kedokteran dan perawat kesehatan, mendirikan rumah sakit/puskemas sampai ke pelosok-pelosok desa, membuat pabrik-pabrik farmasi dan lembaga riset agar obat-obatan kita melimpah dan bermutu baik dlsb).
Memang didalam RUU BPJS inisiatif DPR ataupun dalam Rancangan UU versi KAJS tercantum, selain memperbolehkan investasi kedalam sektor spekulasi, juga investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial, namun pasal ini masih sangat multi tafsir, apa yang dimaksud dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial? Apakah misalnya dengan menginvestasikannya dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur untuk menarik minat investasi di Indonesia bisa digolongkan untuk kesejahteraan rakyat?
VI. UU SJSN belum mencakup Jaminan Pendidikan gratis untuk rakyat
Masalah lainnya adalah tentang program-program Jaminan Sosial, dalam UU SJSN dan RUU BPJS inisiatif DPR hanya menyebutkan jenis program Jaminan Sosial hanyanyalah sebagai berikut: 1) Jaminan Kesehatan; 2) Jaminan Kecelakaan Kerja; 3) Jaminan Hari Tua; 4) Jaminan Pensiun dan 5) Jaminan Kematian. Sedangkan dalam Rancangan UU versi KAJS ditambah manjadi: 6) Jaminan Pengangguran, dimana dalam UU SJSN ataupun dalam RUU BPJS inisiatif DPR, tunjangan bagi pengangguran tidak diatur/tidak masuk, yang disebut sebagai Jaminan Pengangguran dalam rancangan KAJS adalah Jaminan yang diberikan kepada peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja sebelum mencapai usia pensiun normal atau pensiun muda atau pensiun dipercepat. Namun posisi ini tidak terlalu kuat diperjuangkan, karena KAJS samasekali tidak menggugat Pemerintah dalam hal perubahan UU No. 40 tahun 2004 yang juga tidak memuat Jaminan Pengangguran (sama halnya dengan ajuan tentang pembagian beban iuran bagi pemberi kerja dan pekerja/buruh. Gugatan yang diajukan selama ini adalah UU SJSN yang mestinya harus sudah dilaksanakan secara penuh paling lambat tanggal 19 Oktober 2009 lalu, tetapi nyatanya hingga saat ini belum juga terbentuk UU BPJS-nya, dan belum satu pun Peraturan Pemerintah (PP) dibuat dari 11 (sebelas) PP yang diperintahkan UU SJSN, dan baru 2 (dua) Peraturan Presiden (Perpres) yang dibuat dari 10 (sepuluh) Perpres yang diperintahkan UU SJSN, sehingga SJSN tidak bisa dijalankan.
Sedangkan program lain, yang tak kalah pentingnya dan harus masuk dalam SJSN adalah program tentang Jaminan Pendidikan. Program ini penting untuk dimasukkan, karena menyangkut persoalan peningkatan tenaga produktif rakyat, Kuba bisa menganggarkan 6,7% dari PDB-nya untuk anggaran pendidikan dan mengratiskan biaya masuk Perguruan Tinggi sejak tahun 2000, sementara di Indonesia, anggaran untuk subsidi pendidikan kurang dari 2% saja.
VII. Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Didalam konsep RUU BPJS inisiatif DPR, BPJS dibentuk dengan cara menggabungkan/meleburkan 4 (empat) Perusahaan Perseroan (Persero), yaitu Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Sipil (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) menjadi 1 (satu) BPJS, BPJS dijalankan/dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang memimpin bidang-bidang, yaitu: Bidang Pelayanan bidang Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja; Bidang Pelayanan bidang Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian; Bidang Keuangan dan Investasi; Bidang Pengembangan, Sumber Daya Manusia, dan Sistem Informasi. Kemudian kepesertaan Jaminan Sosialnya akan dialihkan menjadi Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang baru. Sedangkan untuk Kekayaan Perusahaan masing-masing Perseroan (Persero) akan dialihkan menjadi kekayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program.
Sementara KAJS berpendapat, bahwa masing-masing Perseroan (Persero), dalam hal ini ada 4 Perseroan (Persero), harus memiliki BPJS sendiri-sendiri, yaitu: Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan Rakyat, disingkat BP ASKES untuk menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan seumur hidup bagi seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam dan di luar wilayah Republik Indonesia tanpa kecuali; Badan Penyelenggara Tabungan dan Asuransi Sosial Pegawai Negeri, disingkat BP TASPEN untuk menyelenggarakan Program Tabungan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil termasuk Pekerja Harian Lepas (PHL), Pekerja Tidak Tetap (PTT) dan Guru Honorer yang dipekerjakan dilingkungkan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan Penyelenggara Asuransi Sosial Anggota TNI dan POLRI, disingkat ASABRI untuk menyelenggarakan Program Tabungan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian bagi seluruh Prajurit TNI, Anggota Polisi dan PNS pada kementerian pertahanan termasuk Veteran, PKRI, KNIP; Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disingkat BP JAMSOSTEK untuk menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Pengangguran bagi seluruh tenaga kerja yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan swasta, BUMN, BUMD, pekerja informal yang bekerja di dalam maupun di luar negeri termasuk petani, nelayan dan yang tidak terikat hubungan kerja. Setiap BPJS bertugas menyelenggarakan program Jaminan sosial bagi pesertanya, jadi tidak ada pengalihan kepesertaan. Dan untuk kekayaan masing-masing Perusahaan Perseroan (Persero), tetap menjadi kekayaan masing-masing BPJS.
Dalam konsep KAJS, pemisahan BPJS menjadi 4 tersebut, selain dengan alasan-alasan legal formal sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004, alasan lainnya adalah: pertama soal pendanaan Jaminan Sosial yang berasal dari berbagai sumber yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan, kedua kesulitan teknis dalam proses penggabungan ke empat Perseroan (Persero), ketiga menghindari terjadinya subsidi silang (hal ini juga dilarang oleh RUU BPJS inisiatif DPR), keempat perbedaan karakteristik masing-masing Jaminan Sosial dan kelima infrastruktur yang sudah dimiliki oleh masing-masing Perseroan (Persero), sehingga tinggal mengoptimalisasi fungsinya saja.
Namun sebenarnya, dalam konsep akumulasi kekuatan (permodalan dan manajerial), penggabungan antara empat Perseroan (Persero) dengan kemampuan modal dan infrastruktur yang dimilikinya justru lebih menguntungkan dari pada dipecah-pecah. Bahkan dalam konsep solidaritas sosial, tidak masalah jika terjadi subsidi silang (modal yang kuat membantu yang lemah), daripada, ada sebagian rakyat yang tidak bisa tertanggung akibat salah satu Perseroan (Persero) kekurangan dana, sementara ditempat lain terjadi kelebihan dana.
Perbedaan lain juga adalah dalam konsep tentang BPJS, BPJS versi KAJS harus terdiri dari 2 (dua) organ yang terpisah, yaitu Dewan Wali Amanat dan Direksi. Dewan Wali Amanat adalah organ BPJS yang terdiri dari unsur organisasi pengusaha/pemberi kerja, organisasi pekerja/buruh, pemerintah, dan ahli Jaminan sosial yang bertugas melakukan pengawasan khusus terhadap perencanaan dan pelaksanaan program yang diselenggarakan oleh BPJS, sedangkan Direksi adalah organ BPJS yang terdiri dari orang-orang yang profesional di bidang Jaminan sosial yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab untuk mengurus BPJS, dan mewakili BPJS baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan wewenang yang diatur dalam undang-undang. Pemisahan ini dimaksudkan, harus ada pelibatan yang lebih luas (tripartisme), bukan seperti BUMN, antara unsur Pemerintah, organisasi pengusaha/pemberi kerja dan organisasi pekerja/buruh, organisasi petani, organisasi nelayan, organisasi pegawai negeri (PNS, Prajurit TNI, Anggota POLRI) dalam setiap BPJS. Tetapi sayangnya, secara konsep, BPJS versi KAJS, baik Dewan Wali Amanat maupun Direksinya sama-sama diangkat dan diberhentikan Presiden. Dewan Wali Amanat tidak jauh berbeda fungsinya seperti DPR dalam Triaspolitika, bahkan legitimasi (sekalipun calon dari organisasi rakyat (buruh, tani atau nelayan) bisa diusulkan sendiri oleh organisasinya masing-masing, namun pengajuannya harus oleh Kementerian terkait (Departemen Tenaga Kerja atau Departemen Pertanian atau Departemen Perikanan dan Kelautan), dan wewenangnya lebih kecil.
Seharusnya Dewan Wali Amanat dari unsur rakyat harus diusulkan dan dipilih oleh organisasi rakyat itu sendiri, melalui mekanisme pemilihan langsung, masing-masing sector masyarakat memiliki wakil yang akan duduk dalam Dewan Wali Amanat (yaitu: organisasi buruh, organisasi tani, oragnisasi nelayan, organisasi pegawai negeri, TNI dan Polri), calon-calon yang dipilih kemudian akan mendapatkan akta pencatatan dari pengadilan. Calon-calon dari rakyat ini bisa sewaktu-waktu diganti, jika melanggar komitmen kepada para pemilihnya.
VIII. Kesimpulan
Dengan melihat fakta-fakta diatas, menjadi logis jika Pemerintah memang ingin melepas tanggungjawab kepada rakyatnya, membatasi layanan kesehatan, tidak memberikan Jaminan Pendidikan, dlsb, itulah mengapa, Pemerintah juga memperbolehkan BPJS mengembangkan dana/investasi yang didapat dari iuran wajib peserta sendiri, sekalipun mengandung resiko tidak kembali. Semua hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tekanan sistem Kapitalisme, dalam hukum besi (hukum yang tidak dapat diubah) Kapitalisme, Negara memang harus menghemat anggarannya untuk belanja sosial, bahkan jika memungkinkan sistem Jaminan Sosialnya diserakan kepada swasta, demi keuantungan Kapitalis.
Menyerahkan persoalan Jaminan Sosial pada swasta juga bukan jalan keluar, lihatlah bagaimana contoh di AS (sebelum adanya reformasi anggaran (Health Reform Bill)), dimana Jaminan Sosialnya diserahkan kepada swasta, banyak pasien yang tidak diurus lantaran tidak memenuhi kriteria perawatan yang dilakukan oleh pihak asuransi karena berbagai hal. Ini dilakukan lantaran pihak asuransi harus mencari profit, karena jika semakin banyak klain maka perusahaan akan semakin rugi, sementara dana yang terkumpul terus diputar ke berbagai investasi, dan ketika krisis, dimana banyak perusahaan yang tutup, termasuk perusahaan asuransi maka tidak ada lagi yang menaggung Jaminan Sosial rakyat, apalagi setelah krisis semakin banyak rakyat yang menjadi miskin sehingga tidak mampu lagi membeli polis asuransi.
Untuk itu seharusnya yang kita tuntut adalah:
- Mewujudkan sistem Jaminan Sosial yang terintegrasi dengan cara merevisi UU SJSN, Pemerintahlah yang harus menjamin hak rakyatnya secara gratis (terutama kesehatan dan pendidikan), yang menjangkau seluruh rakyat, dan tidak dibatasi baik obat-obatannya, jenis pelayanannya ataupun rumah sakitnya, termasuk transportasi ketika harus diobati keluar daerah;
- Pengembangan dana iuran hanya boleh dilakukan untuk mendukung kemajuan tenaga produktif rakyat dan menunjang program kesejahteraan rakyat seperti: Mencetak tenaga-tenaga yang berkualitas dibidang kesehatan, Memperbayak jumlah rumah sakit, klinik, puskesmas dan meningkatkan kualitasnya, mendirikan lembaga-lembaga riset dibidang teknologi kesehatan dan obat, mendirikan pabrik-pabrik farmasi dlsb;
- Kemudian, Pemerintah harus membentuk Badan Pekerja Jaminan Sosial yang demokratis dan mampu dikontrol langsung oleh rakyat.
- Memusatkan pembiayaan dalam negeri dengan cara:
- Merubah komposisi pengeluaran APBN, dengan memperbesar anggaran untuk rakyat. Dimana Negara kita termasuk yang paling kecil alokasi dari APBN-nya untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya untuk sektor kesehatan saja, Indonesia dikenal paling rendah di negara-negara lainnya dalam hal pembiayaan kesehatan per kapita, Negara-negara maju yang rata-rata menghabiskan 7,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk belanja kesehatan, Negara berpendapatan menengah rata rata 5,8 persen PDB, dan rata-rata belanja kesehatan negara miskin menghabiskan 4,7 persen PDB-nya, sementara, Indonesia hanya mengeluarkan 2,5 persen PDB atau setara dengan Rp. 171.511 per orang per tahun.
- Memperbesar pendapatan Negara, dengan jalan antara lain melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, terutama industry energy dan pertambangan (apalagi bila secara teknologi, manajerial, dan kesiapan psikologi buruhnya, sudah siap), atau minimal melakukan peninjauan ulang atas kebijakan-kebijakan pertambangan yang merugikan rakyat, misalnya dengan: meninjau ulang kebijakan prosentase bagi hasil untuk kepentingan dalam negeri, merevisi kontrak harga jual produk migas yang masih dibawah harga standart (misalnya dalam kontrak harga LNG dari kilang Tangguh dengan Cina yang dipatok dengan harga hanya US$ 2,4 per juta British thermal unit (mmbtu) padahal harga gas sudah berkisar US$ 6-7 per mmbtu, bahkan harga LNG dari Kilang Bontang yang diekspor ke Jepang mencapai di atas US$ 15 per mmbtu, menghapus kebijakan DMO Holiday, DMO Fee dan memperkecil penyimpangan Cost Recovery, menolak pembayaran/pembelian listrik terhadap kontrak-kontrak yang sudah mati, menyita harta koruptor yang memark-up proyek-proyek pembangit listrik dll), dan masih banyak cara lainnya seperti meminta menolak pembayaran utang, minimal utang yang tidak masuk kedalam pembiayaan pembangunan karena di korupsi (utang najis) atau meminta penangguhan utang luar negeri, menyita harta koruptor Orba sampai Orde Reformasi, mengambil kembali (bisa saja dengan dibeli) perusahaan-perusahaan negara yang telah dijual kepada swasta, yang menguntungkan, memajukan industri nasional (milik sosial) dengan meningkatkan tenaga produktif manusia, teknologi, dan sarana produksi lainnya, sehingga tidak tergantung lagi kepada asing dan swasta dan lain sebagainya.
- Memanjukan kualitas dibidang kesehatan rakyat, melalui:
- Memperbanyak universitas-universitas/ fakultas-fakultas kedokteteran, keperawatan, farmasi, kesehatan masyarakat dengan biaya murah;
- Penambahan jumlah puskesmas, laboratorium, lembaga riset kesehatan dan obat-obatan, sehingga seberbanding dengan jumlah dan sebaran penduduk;
- Peningkatan kualitas puskesmas, rumah sakit, tenaga dokter, perawat;
- Memperbesar subsidi obat-obatan untuk rakyat;
- Menolak privatisasi industry farmasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H