Mohon tunggu...
zaman aji
zaman aji Mohon Tunggu... -

Aktifis Pergerakan Buruh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Haruskah "Perdagangan Bebas?"

7 Desember 2010   22:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:55 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai sebuah sistem yang mengusai mendunia, bukan berarti kapitalisme lepas dari persoalan di dalam dirinya sendiri, kerena dengan penguasaan modal ditangan segelintir orang—dalam Film Dokumenter, The New Rules Of The World/Penguasa Baru Dunia, John Pilger memberikan data, bahwa hanya 200 Perusahaan Raksasa yang menguasai seperempat kekayaan dunia—sementara jutaan, hingga milyaradan orang tak memiliki apa-apa—sebagian diantaranya terpaksa menjadi buruh dan sisanya menjadi pengangguran atau bekerja di sector-sektor informal—

Dengan daya beli yang rendah—sebagai konsukwensi kapitalisme untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya—maka produksi barang yang berlimpah ruah, tidak sanggup dibeli oleh kaum pekerja dan rakyat miskin, akibatnya terjadi kelebihan produksi, dan terjadilah krisis, awalnya di negara-negara induk kapitalis, yang kemudian crisis serupa juga terjadi di negara-negara berkembang—sebagai akibat dari makin tercengkramnya dunia ketiga oleh negara-negara induk kapitalis—

Sehingga mau tidak mau, kelebihan barang -- juga modal-- ini harus “dieksport” seluas-luasnya keseluruh penjuru dunia, dengan menghancurkan hambatan-hambatan (ekonomi, politik, budaya ) penjualan barang dan jasa ini ditiap-tiap negara yang menjadi sasaran penjualan termasuk hambatan-hambatan arus modal/investasi, maka lahirlah kemudian perdagangan bebas seperti yang dikenal sekarang ini—karena sebelumnya perdagangan antar negara sudah berjalan—dengan lembaganya yaitu World Trade Organization (WTO)/Organisasi Perdagangan Dunia, yang bertujuan untuk menyatukan pasar, meliberalkan arus barang dan jasa, meliberalkan arus modal serta pekerja-pekerja terampil. Indonesia sendiri bergabung ke WTO semenjak 1 januari 1995, setahun setelah WTO berdiri—Walaupun WTO adalah pengembangan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)/Kesepakatan Umum Tarif dan Perdagangan, yang telah berdiri dan menjadi acuan aturan perdagangan bertahun-tahun sebelumnya—

Sebagai contoh, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang diadakan di Singapura tanggal 9-13 Desember 1996 yang kemudian dikenal dengan istilah“Singapore Issues “ antara lain membahas: Investasi PMA, Belanja Pemerintah , Kebijakan Kompetisi dan fasilitas Perdagangan (sekalipun issu-issu ini pada saat ditolak oleh sebagian Negara anggota WTO)

1. Di bidang investasi misalnya, Perusahaan Multinasional menuntut penerapan Penanaman Modal Asing sampai 100 % baik investasi manufaktur maupun jasa, penghapusan keharusan adanya kandungan lokal dan pembatasan impor.

2. Di bidang belanja pemerintah, negara-negara maju memaksakan agar perusahaan mulitinasional bisa ikut serta dalam tender proyek belanja pemerintah, seperti proyek pembangunan infrastruktur publik( jalan raya, jembatan, gedung-gedung pemerintah, waduk, irigasi) dan proyek infrastruktur pemerintah lainnya.

3. Di bidang Fasiltas perdagangan, mereka menuntut liberalisasi dalam aturan-aturan yang bersifat supporting perdagangan seperti kepabeanan, standard teknis, karantina, pameran dagang dan lain-lain.

Industri dalam negeri yang makin keropos.

Dengan penurunan tarif hingga 0 % tersebut, maka kehancuran industri dalam negeri sudah pasti akan terjadi, terutama pada sector-sektor industri dengan modal kecil dan teknologi rendah industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, industri komponen manufaktur otomotif , jasa engineering juga beberapa sector yang menggunakan teknologi tinggi seperti, petrokimia, elektronik, industri permesinan, besi dan baja.

Kehancuran Industri Dalam Negeri ini terutama disebabkan, pondasi Industri Nasional memang rapuh, dimana landasan utama pembangunan Industri Nacional bukanlah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan mengandalkan kekayaaan alam baik yang di darat maupun laut.

Kapitalisme yang dicangkokkan oleh Penjajah Kolonial pada abad 16 dan kemudian diteruskan oleh Rezim Orde Baru hingga sekarang, telah mendesign Industri Nasional haruslah mengabdi pada kepentingan Modal Internasional, sehingga Industri yang dibangun kebanyakan adalah Industri yang berorientasi eksport dengan baku import serta ketergantungan teknologi pada modal internacional dan pada saat yang bersamaan menjadikan Indonesia sebagai tempat penyedia sumber daya alam murah, tempat tenaga kerja murah dan pasar bagi produk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun