Di kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu dibuka penambangan emas baru; di Tumpang Pitu Banyuwangi; Â Pabrik Semen di kendeng; Â proyek NYIA di Kulon Progo; proyek geotermal di kabupaten Solok, Sumatra; Â dan banyak kasus lain yang turut mengancam kelestarian lingkungan dan nasib warga sekitar.
Sekian bentuk eksploitasi terhadap lingkungan yang disebutkan Shiva dalam buku ini menyumbang krisis air. Efek domino yang ditimbulkan ialah perang dalam wajahnya yang kedua, yakni perang dalam arti yang biasa kita pahami atau perang konvensional. Perang yang sesungguhnya seringkali dilatar belakangi oleh masalah krisis air ini, kemudian dikemas mejadi perang etnis atau agama.Â
Lagi-lagi dalam konteks yang dia jelaskan, hal itu dianggap mudah kdilakukan karena memang latar belakang penduduk yang mendiami tepian sungai atau terdampak krisis air merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam tradisi, seperti konflik air di sekitar Sungai Punja yang berkamuflase menjadi isu Sparatisme Kaum Sikh.Â
Memang, kita sering dihadapkan pada isu semacam itu. Kerugian yang timbulkan karena ekploitsi air oleh segelintir orang harus ditutupi dengan isu sara. Warga jatuh tertimpa tangga pula.
Penutup
Buku ini ditutup dengan uraian mengenai berbagai cara pengelolaan atau manajemen air secara tradisional di India. Ada lebih dari 25 sistem irigasi dan air minum yang diciptakan oleh berbagai komunitas di India, seperti eri, keri, kunta, kulani, ahars, bandh, khadins, bundhies, sailata, kuthi, bandharas, low khongs, thodu, dongs, tanka, johad, nade, peta, kasht, paithu, bil, jheel, dan talaks.Â
Shiva menganggap cara tradisional semacam itu tidak selalu ketinggalan zaman, melainkan justru cara-cara tradisional pengelolaan air seperti disebutkan pendekatannya adalah konservasi sehingga kelestarian lingkungan khususnya air tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H