Mohon tunggu...
Bajang Sasak
Bajang Sasak Mohon Tunggu... lainnya -

Pram pernah berkata, "tulis, tulis, dan tulis meskipun tidak diterima penerbit. Suatu saat pasti berguna".

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

“Water Wars”, Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Air

27 Desember 2018   02:45 Diperbarui: 27 Desember 2018   03:22 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah buku yang membahas masalah air saat sedang berselancar di dunia maya beberapa waktu lalu. Judulnya ialah Water Wars (Perang Air) yang agak provakif menurut saya. Penulisnya adalah aktivis lingkungan India bernama Vandhana Shiva. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Achmad Uzair dan diterbitkan oleh Insist Press bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). 

Dalam bahasa Indonesia, buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 2002 dan langsung diberi pengantar oleh Mansour Fakih. Sudah lama sekali sebenarnya, namun baru sampai di tangan saya tahun 2018. Saya kira tidak ada kata terlambat untuk membaca buku ini, apalagi yang dibahas adalah masalah air, masalah kelangsungan hidup manusia.

Air dapat dikatakan sebagai sumber kehidupan,  karena tidak ada yang dapat hidup tanpa air. Air tidak hanya dapat dikonsumsi langsung untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia, tetapi ia juga dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan. Saking pentingnya manfaat yang diberikan, belakangan muncul persoalan bagaimana pemanfaatan air dilakukan. 

Bukan hanya persoalan teknis pembagian, melainkan menjurus pada upaya sistematis untuk mengendalikan pengusaan air yang dilakukan oleh segelintir orang. Bahkan pada tahun 1995, Ismail Serageldine, Wakil Presiden Bank Dunia, pernah memprediksi bahwa perang dimasa depan (bahkan saat ini telah dimulai) bukan lagi dipicu oleh minyak, melainkan oleh air.

Tidak perlu jauh-jauh ke India dulu, di Indonesia saja persoalan air hingga kini kerap kali terjadi, mulai dari pembagian air yang tidak merata, pencemaran terutama limbah industri, hingga penguasaan air yang dilakukan oleh korporasi. 

Jika dilihat dari situ, wajar jika buku ini hadir di Indonesia. Shiva (2002) sebenarnya tidak mengulas masalah air di Indonesia secara spesifik. Meskipun demikian, konteks Indonesia tidak jauh berbeda dengan berbagai wilayah yang dibahas dalam bukunya, seperti konflik sungai Nill di Afrika, Gangga di India,  Euphrat dan Tigris di Semenanjung Arab, dan masih banyak lagi.


Perang Air
Perang air seperti yang dipredikasi oleh Ismail Serageldine memang telah dimulai. Perang ini menurut Sihava muncul dengan dua wajah. Pertama adalah perang peradigma, yakni konflik tentang bagaimana kita memahami fungsi air dan pemanfaatannya. 

Perang paradigma memunculkan konflik antara upaya penguasaan air yang berada di tangan segelintir orang dengan tujuan keuntugan finasial berhadapan dengan pengelolaan air oleh komunitas warga secara tradisional untuk menjamin pembagian air secara merata. 

Satu kebudayaan melihat air sebagai sesuatu yang sakral dan memperlakukannya sebagai tugas mewujudkan suaka hidup, sedangkan budaya yang satu memandang air sebagai komoditas, dan penjualannya menjadi hak fundamental korporat.

Dua pandangan itu jelas sangat bertentangan, sebab yang satu menghendaki komodifikasi air untuk keuntungan perorangan, sedangkan yang lain menghendaki kebudayaan saling berbagi, menerima, dan memberi air sebagai pemberian cuma-cuma. 

Dengan kata lain di satu sisi menciptakan ancaman baru terhadap lingkungan berupa sampah plastik, sedangkan yang lain dengan menjaga kelestarian lingkungan, karena menggunakan media tanah sebagai wadah penampungan. 

Dalam konteks India, Shiva bercerita tentang pengalamannya selama dalam perjalanan ke kota Rajastan, Jaipur, di sebelah barat India. Selama berada di dalam kereta,  ia dihadapkan pada budaya komodifikasi air menggunakan kemasan plastik dan didominasi oleh Aquafina yang masih berelasi dengan Pepsi.

 Adapun di jalah-jalan Jaipur terdapat sesuatu yang berbeda. Warga masih menggunakan belanga yang ditempatkan di dalam Jal Maindirs atau kuil air untuk menyediakan air pada musim kekeringan dan tentu saja disediakan dengan cuma-cuma untuk warga India yang dahaga. Kontras bukan? 

Sebab budaya yang satu, seringkali dengan propaganda efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, merupakan cara mereka menciptakan bencana air bagi warga itu sendiri. Di Indonesia satu di atara sekian contoh yang ada ialah krisis kekurangan air di NTT. 

Warga di sana harus berjalan ratusan meter bahkan kilo hanya untuk memperoleh satu ember air dari sebuah sumur bersama, sedangkan di tempat lain di pulau yang sama terdapat perusahaan air minum daerah yang mengambil keuntungan finansial. Dan air disana merupakan air dengan kualitas terbaik.

Proyek untuk mengendalikan penguasaan atas air juga turut mengundang perhatian korporasi besar (TNC & MNC) serta campur tangan World Bank dan IMF melalui suntikan modal. Institusi predatoris semacam WB dan IMF juga getol mendorong privatisasi terhadap sumber daya air. 

Shiva mencatat di India tepatnya Gujarat dan Maharashtra sekitar tahun 1990-an,  WB mendorong privatisasi dengan membuat sumur bor dengan kedalam 1. 500 hingga 1. 800 kaki untuk menyedot air. 

Akhirnya, menghabiskan simpanan air yang terdapat dipermukaan. Di sisi lain WB juga memberi suntikan dana besar untuk proyek ribuan bendungan di berbagai wilayah di India. Proyek ini telah membuat 16 sampai 38 juta warga India menjadi korban karena harus tergusur dari tempat tinggal mereka. 

Bukan hanya itu,  di India, ribuan hektar hutan juga harus ikut ditenggelamkan. Kerugian ekologis dan sosial tersebut harus diabaikan demi ambisi mengendalikan air dan kepentingan finansial di balik itu semua.

Di samping itu,  dalam buku ini,  Shiva juga mengulas tentang peran hutan komersial dalam menyumbang krisis terhadap air. Yang dimaksud hutan komersial dalam hal ini ialah mengganti berbagai varietas tetumbuhan dengan jenis tertentu guna mendapat keuntungan komersial. Salah satunya misalkan Eucalyptus untuk bahan kertas. 

Penggantian berbagai varietas tadi dengan monokultur, Eucalyptus mengakibatkan krisis air. Tanaman tersebut membutuhkan air yang sangat tinggi. Akibatnya, di Afrika Selatan program penanaman Eucalyptus ditentang warga dengan membersihkan 10 juta hektar tumbuhan Eucalyptus yang telah ditanam. Setelah itu,  produksi aliran mata air ternyata meningkat hingga 120 persen. 

Masalah lain yang juga disinggung Shiva ialah pertambangan yang dialami langsung olehnya, karena di sekitar tempat tinggalnya, Lembah Doon, dieksploitasi untuk penambangan batu kapur yang merusak daya tampung air. Ya, barangkali seperti yang anda bayangkan, Indonesia sedang giat melakukan penambangan di berbagai Wilayah. 

Di kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu dibuka penambangan emas baru; di Tumpang Pitu Banyuwangi;  Pabrik Semen di kendeng;  proyek NYIA di Kulon Progo; proyek geotermal di kabupaten Solok, Sumatra;  dan banyak kasus lain yang turut mengancam kelestarian lingkungan dan nasib warga sekitar.

Sekian bentuk eksploitasi terhadap lingkungan yang disebutkan Shiva dalam buku ini menyumbang krisis air. Efek domino yang ditimbulkan ialah perang dalam wajahnya yang kedua, yakni perang dalam arti yang biasa kita pahami atau perang konvensional. Perang yang sesungguhnya seringkali dilatar belakangi oleh masalah krisis air ini, kemudian dikemas mejadi perang etnis atau agama. 

Lagi-lagi dalam konteks yang dia jelaskan, hal itu dianggap mudah kdilakukan karena memang latar belakang penduduk yang mendiami tepian sungai atau terdampak krisis air merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam tradisi, seperti konflik air di sekitar Sungai Punja yang berkamuflase menjadi isu Sparatisme Kaum Sikh. 

Memang, kita sering dihadapkan pada isu semacam itu. Kerugian yang timbulkan karena ekploitsi air oleh segelintir orang harus ditutupi dengan isu sara. Warga jatuh tertimpa tangga pula.

Penutup
Buku ini ditutup dengan uraian mengenai berbagai cara pengelolaan atau manajemen air secara tradisional di India. Ada lebih dari 25 sistem irigasi dan air minum yang diciptakan oleh berbagai komunitas di India, seperti eri, keri, kunta, kulani, ahars, bandh, khadins, bundhies, sailata, kuthi, bandharas, low khongs, thodu, dongs, tanka, johad, nade, peta, kasht, paithu, bil, jheel, dan talaks. 

Shiva menganggap cara tradisional semacam itu tidak selalu ketinggalan zaman, melainkan justru cara-cara tradisional pengelolaan air seperti disebutkan pendekatannya adalah konservasi sehingga kelestarian lingkungan khususnya air tetap terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun