Mohon tunggu...
Bajang Sasak
Bajang Sasak Mohon Tunggu... lainnya -

Pram pernah berkata, "tulis, tulis, dan tulis meskipun tidak diterima penerbit. Suatu saat pasti berguna".

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

“Water Wars”, Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Air

27 Desember 2018   02:45 Diperbarui: 27 Desember 2018   03:22 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks India, Shiva bercerita tentang pengalamannya selama dalam perjalanan ke kota Rajastan, Jaipur, di sebelah barat India. Selama berada di dalam kereta,  ia dihadapkan pada budaya komodifikasi air menggunakan kemasan plastik dan didominasi oleh Aquafina yang masih berelasi dengan Pepsi.

 Adapun di jalah-jalan Jaipur terdapat sesuatu yang berbeda. Warga masih menggunakan belanga yang ditempatkan di dalam Jal Maindirs atau kuil air untuk menyediakan air pada musim kekeringan dan tentu saja disediakan dengan cuma-cuma untuk warga India yang dahaga. Kontras bukan? 

Sebab budaya yang satu, seringkali dengan propaganda efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, merupakan cara mereka menciptakan bencana air bagi warga itu sendiri. Di Indonesia satu di atara sekian contoh yang ada ialah krisis kekurangan air di NTT. 

Warga di sana harus berjalan ratusan meter bahkan kilo hanya untuk memperoleh satu ember air dari sebuah sumur bersama, sedangkan di tempat lain di pulau yang sama terdapat perusahaan air minum daerah yang mengambil keuntungan finansial. Dan air disana merupakan air dengan kualitas terbaik.

Proyek untuk mengendalikan penguasaan atas air juga turut mengundang perhatian korporasi besar (TNC & MNC) serta campur tangan World Bank dan IMF melalui suntikan modal. Institusi predatoris semacam WB dan IMF juga getol mendorong privatisasi terhadap sumber daya air. 

Shiva mencatat di India tepatnya Gujarat dan Maharashtra sekitar tahun 1990-an,  WB mendorong privatisasi dengan membuat sumur bor dengan kedalam 1. 500 hingga 1. 800 kaki untuk menyedot air. 

Akhirnya, menghabiskan simpanan air yang terdapat dipermukaan. Di sisi lain WB juga memberi suntikan dana besar untuk proyek ribuan bendungan di berbagai wilayah di India. Proyek ini telah membuat 16 sampai 38 juta warga India menjadi korban karena harus tergusur dari tempat tinggal mereka. 

Bukan hanya itu,  di India, ribuan hektar hutan juga harus ikut ditenggelamkan. Kerugian ekologis dan sosial tersebut harus diabaikan demi ambisi mengendalikan air dan kepentingan finansial di balik itu semua.

Di samping itu,  dalam buku ini,  Shiva juga mengulas tentang peran hutan komersial dalam menyumbang krisis terhadap air. Yang dimaksud hutan komersial dalam hal ini ialah mengganti berbagai varietas tetumbuhan dengan jenis tertentu guna mendapat keuntungan komersial. Salah satunya misalkan Eucalyptus untuk bahan kertas. 

Penggantian berbagai varietas tadi dengan monokultur, Eucalyptus mengakibatkan krisis air. Tanaman tersebut membutuhkan air yang sangat tinggi. Akibatnya, di Afrika Selatan program penanaman Eucalyptus ditentang warga dengan membersihkan 10 juta hektar tumbuhan Eucalyptus yang telah ditanam. Setelah itu,  produksi aliran mata air ternyata meningkat hingga 120 persen. 

Masalah lain yang juga disinggung Shiva ialah pertambangan yang dialami langsung olehnya, karena di sekitar tempat tinggalnya, Lembah Doon, dieksploitasi untuk penambangan batu kapur yang merusak daya tampung air. Ya, barangkali seperti yang anda bayangkan, Indonesia sedang giat melakukan penambangan di berbagai Wilayah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun