Mohon tunggu...
Zalfa Sofia Rasheeda
Zalfa Sofia Rasheeda Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Saya merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis

MoU Helsinki: Solusi Damai Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Mengakhiri Konfik Berdarah Aceh - Prinsip "A Thousand Friends, Zero Enemy"

12 Desember 2024   20:17 Diperbarui: 13 Desember 2024   18:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menerapkan sistem politik luar negeri Indonesia berupa prinsip “A Thousand Friends, Zero Enemy” yang mengedepankan penyelesaian dengan cara negosiasi atau hubungan baik antar kedua belah pihak antara pihak yang berkaitan tanpa menciptakan perpecahan. 

Prinsip ini digunakan oleh SBY untuk menunjukkan bahwa Indonesia mengutamakan kerjasama antara negara-negara berkaitan terutama dalam sektor yang lebih luas seperti perekonomian, politik, hingga sosial.

Salah satu fenomena yang terjadi, yaitu perang berdarah di Aceh yang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek yang membuat tidak kunjung selesai hingga 30 tahun lamanya (1976-2005).

Bermula pada saat pemerintahan Soeharto, masyarakat Aceh tidak dapat merasakan secara langsung hasil dari sumber daya alam yang mereka miliki. Tidak adanya transparansi bagaimana distribusi sumber daya alam tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat Aceh.

Pada 17 Desember 1976, dibentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau kerap dikenal dengan Hasan di Tiro. 

Tujuan dengan terbentuknya GAM ini adalah sebagai bentuk untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat Aceh atas eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintahan Aceh.

Selain itu, masyarakat Aceh merasa tidak puas dengan terbentuknya kebijakan Orde Baru, yang diperburuk dengan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) yang terjadi pada 1989-1998.

Setelah SBY resmi menjadi Presiden NKRI, ia bersama dengan Jusuf Kalla pada masa itu menekankan untuk segera menyelesaikan konflik Aceh yang berkepanjangan ini. Upaya SBY untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah salah satunya dengan memperpanjang berlakunya darurat sipil di Aceh pada masa itu.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2004 tentang Keadaan Bahaya dengan Tingkat Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berlaku sejak 19 November 2004 yang dimana pada saat itu GAM menggunakan teknik pendekatan konflik.

Namun, hal itu berubah saat terjadi tsunami 9,3 richter melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang mengakibatkan kerugian hingga 4,5 miliar dollar AS. Lalu, muncullah indikasi bahwa akan adanya bantuan internasional yang berasal dari berbagai negara-negara asing.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah Indonesia mulai mengadopsi kebijakan perdamaian untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Aceh, yang telah membawa dampak besar bagi masyarakat setempat dan stabilitas nasional. 

Pendekatan yang diambil oleh pemerintah SBY menitikberatkan pada solusi damai melalui jalur diplomasi dan negosiasi, dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kredibilitas dan keahlian dalam manajemen konflik. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan Crisis Management Initiative (CMI), sebuah organisasi internasional yang bergerak dalam bidang mediasi dan resolusi konflik.

CMI, yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, memainkan peran penting dalam memfasilitasi proses dialog antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (KRI). Dalam proses ini, CMI berfungsi sebagai perantara netral yang memastikan bahwa kepentingan dan aspirasi kedua belah pihak dapat didengar dan dipertimbangkan secara adil. 

Organisasi ini tidak hanya menyediakan ruang pertemuan untuk berunding, tetapi juga membantu merumuskan kerangka kerja yang menjadi dasar bagi tercapainya kesepakatan damai. Upaya ini bertujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata, mendorong keadilan bagi masyarakat Aceh, dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk pembangunan dan rekonsiliasi di wilayah tersebut.

Proses negosiasi yang berlangsung melalui fasilitasi CMI melibatkan berbagai tahap yang kompleks, termasuk diskusi mengenai pembagian kekuasaan, pengakuan hak-hak khusus Aceh, dan perlucutan senjata oleh pihak GAM. Semua ini dirancang untuk menjawab tuntutan masyarakat Aceh yang selama bertahun-tahun merasa termarjinalkan, sekaligus menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendekatan ini mencerminkan komitmen pemerintahan SBY untuk mencari solusi damai yang berkelanjutan dan mengutamakan dialog sebagai jalan utama dalam mengatasi konflik.

Beberapa keberhasilan CMI dalam menangani negosiasi tersebut dibuktikan dengan MoU Helsinki yang ditetapkan pada akhir perundingan sebagai berikut : 

  • Kesepakatan mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

  • Kesepakatan Amnesti dan Terkait Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat

  • Kesepakatan Tentang Pengaturan Keamanan

  • Kesepakatan Pembentukan Misi Monitoring Aceh

  • Kesepakatan yang Membahas Mengenai Perselisihan 

Dengan munculnya upaya pembentukan MoU Helsinki ini menunjukkan bahwa dalam pemerintahan SBY, ia berusaha untuk menggunakan prinsip perdamaian dan penyelesaian melalui jalur negosiasi untuk mencapai jalan keluar yang efisien tanpa melibatkan kerugian bagi pihak-pihak terkait.

Berkaca dengan "A Thousand Friends, Zero Enemy", SBY menunjukkan akan bukti implementasi kalimat tersebut kedalam kebijakan yang dijalankan oleh SBY saat masa jabatannya.

Melalui perundingan ini, munculnya hasil akhir bahwa antara Gerakan Aceh Merdeka, Pemerintah Indonesia dan berkat bantuan mediasi melalui Crisis Management Initiative (CMI) yang dapat menyelesaikan ideologi yang bersinggungan dengan pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh pada saat itu.

Hasil akhir dari Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 berhasil membawa perdamaian di Aceh setelah hampir tiga dekade konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Perjanjian ini menghasilkan beberapa poin penting, di antaranya pengakuan otonomi khusus Aceh, yang memungkinkan daerah tersebut mengelola sumber daya alamnya secara lebih mandiri dengan pembagian hasil yang adil, penerapan hukum syariat Islam, serta hak untuk membentuk partai politik lokal. 

Selain itu, GAM setuju untuk menghentikan tuntutan kemerdekaan, menyerahkan seluruh senjata, dan membubarkan struktur militernya, sementara pemerintah Indonesia menarik pasukan non-organik dari Aceh. 

Pemerintah juga memberikan amnesti kepada anggota GAM dan melaksanakan program reintegrasi sosial serta ekonomi. Untuk memastikan keberhasilan implementasi perjanjian, dibentuk Aceh Monitoring Mission (AMM) yang melibatkan Uni Eropa dan ASEAN. 

Hasil dari perjanjian ini membawa stabilitas politik, keamanan, dan membuka jalan bagi pembangunan kembali Aceh, termasuk pemulihan pasca-bencana tsunami. MoU Helsinki menjadi tonggak keberhasilan diplomasi damai yang diakui secara internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun