Mohon tunggu...
Zalfa Farid
Zalfa Farid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030066)

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030066)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Puro Pakualaman: Keraton "Kecil" Yogyakarta

23 April 2021   17:18 Diperbarui: 23 April 2021   17:21 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat mendengar nama Yogyakarta, apa yang seketika terlintas dipikiran kamu?.

"Kota pelajar?"

"Kota kenangan?"

"Kota gudeg?"

"Kota wisata?"

"Atau, kota budaya?"

Yups, semuanya. Semua itu menjadi julukan lain bagi kota Yogyakarta. Kota yang menyimpan sejuta kenangan bagi para pelancong. Kota yang dengan mudah menyihir siapa saja yang mampir untuk tetap tinggal. Kota yang tercipta saat Tuhan sedang jatuh cinta. Begitulah kiranya para warganet menggambarkan kota Yogyakarta.

Maka tidak salah jika Yogyakarta mendapat status sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, apa sih yang menjadikan kota Yogyakarta sebagai Kota Istimewa?. Jika seluruh provinsi di Indonesia dipimpin oleh seorang Gubenur, Kota Yogyakarta memiliki keistimewaan dengan menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang dipimpin oleh seorang sultan.

Seperti yang kita tahu bahwa seorang gubenur dipilih langsung oleh rakyatnya. Yogyakarta dengan keistimewaannya, menjadikan Sri Sultan Hamengku Buwono yang bertahta secara turun temurun sebagai Gubenur Yogyakarta.

Sebagai Gubenur Yogyakarta saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X tentunya tinggal di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Keraton Kesultanan Yogyakarta ini terletak ditengah Kota Yogayakarta sepelurus dengan garis imajiner Kota Jogja. Sebuah garis yang memiliki makna filosofis tentang keselarasan hubungan manusia dengan sang pencipta.

Namun, siapa sangka ternyata Keraton Kesultanan Yogayakarta bukanlah satu-satunya Keraton yang ada di Yogyakarta.  Terdapat keraton lain yang diberi nama Puro Pakulaman. Keraton ini dipimpin oleh KGPAA Paku Alam X yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Gubenur. Lokasinya hanya terletak sekitar 2 km arah timur dari titik 0 Yogyakarta.

Sama seperti keraton pada umumnya, Puro Pakulaman juga dilengkapi dengan unsur catur gatra tunggal. Yaitu terdapat alun-alun, masjid, dan pasar disekitar Keraton tersebut. Hanya saja wilayahnya hanya sebatas Kadipaten Pakualaman dan bangunannya tidak seluas Keraton Kesultanan Yogyakarta.

Menurut penuturan Mas Lurah Jogo Sarono, yang merupakan salah seorang abdi dalem Puro Pakualaman, mengatakan bahwa Puro Pakualaman didirikan oleh putra Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bernama Pangeran Notokusumo. Beliau mendirikan Keraton ini setelah diberi gelar sebagai Kanjeng Gusti Adipati Paku Alam I oleh pemerintah Belanda dan diberi mandat untuk memimpin wilayah Kadipaten Pakualaman.

Pada awal berdirinya Puro Pakulaman merupakan siasat Belanda untuk memecah belah Kesultanan Yogyakarta yang dianggap terlalu kuat. Yaitu dengan cara melakukan politik adu domba atau biasa disebut dengan devide et impera. Namun alih-alih menghancurkan kekuasaan Keraton, hal ini justru menjadikan hubungan Keraton Kesultanan dan Puro Pakualaman menjadi erat.

Nah, Setelah Yogyakarta dijadikan Daerah Istimewa dan menjadikan Paku Alam yang bertahta sebagai wakil Gubenur, fungsi Puro Pakualaman sebagai lembaga pemeritahan Kadipaten Pakulaman mulai dialihkan menjadi lembaga pemangku adat jawa. Kini Puro Pakualaman berfungsi sebagai pelindung sekaligus penjaga identitas budaya jawa, khususnya budaya Paku Alam, Yogyakarta.

Keraton Kadipaten Puro Pakualaman memiliki bangunan-bangunan inti yang tak kalah megah dari Keraton Kesultanan, loh. Bangunan tersebut diantaranya Bangsal Sewatama, Dalem Ageng Prabusuyasa, Bangsal Sewarengga, Gedhong Maerakaca, Bangsal Parangkarsa, dan Gedhong Purwaretna.

Bangunan inti tersebut dapat kamu lihat saat memasuki kompleks Puro Pakulaman. dimana mulanya kamu akan disuguhkan dengan taman dan sebuah kolam bunga teratai yang berada di tengah taman. Dan tepat disisi utara taman nampak sebuah bangunan pendopo yang luas, yaitu Bangsa Sewatama.

Bangunan Bangsal Sewatama ini beratapkan limasan berjajar tiga dan diisi dengan seperangkat alat musik tradisional Jawa yang tak lain dan tak bukan adalah gamelan. "Biasanya dipakai buat kalo ada acara-acara penting, nanti ada tari-tarian" ungkap Mas Lurah Jogo Sarono.

Kemudian disebelah barat Bangsal Sewatama, kamu dapat melihat sebuah bangunan yang bernama Bangsal Parangkarsa. Bangunan ini terdiri atas beberapa ruangan seperti kamar tidur, ruang pertemuan, dan bangunan terbuka yang disebut Sewabujana yang dipakai untuk perjamuan makan anggota keluarga Paku Alam.

"sebenernya masih ada lagi, kayak yang diluar itu ada gedung Kepatihan" tambah Mas Lurah sambil menunjuk ke sisi barat Puro Pakualaman. Kepatihan ini berfungsi sebagai kantor Pakualaman.

Selain bangunan inti yang ada, Keraton Puro Pakualaman juga memiliki museum walapun tidak sebesar museum Keraton Kesultanan Yogyakarta. Museum Puro Pakualaman menyimpan berbagai koleksi peninggalan penguasa Pakualaman.

Museum Puro Pakulaman sendiri terbagi dalam 3 ruangan. Pada  ruangan pertama kita akan dikenalkan dengan daftar silsilah keluarga Paku Alam. Di ruang ini juga disimpan dokumen perjanjian politik bersama Inggris dan Belanda. Serta foto Paku Alam I juga terpajang didalam ruangan ini.

Koleksi yang tersimpan di ruangan kedua diantarannya seperti peralatan dan perlengkapan yang pernah digunakan Paku Alam dan keluargannya pada masa kejayaan Puro Pakualaman. Koleksi peninggalan tersebut diantarannya seperti pakaian Pangeran Adipati Paku Alam hingga pakaian prajurit dan abdi dalem Puro Pakualaman. Sedangkan dalam ruangan ketiga terpajang beberapa koleksi kereta kuda.

Sama seperti Keraton Kesultan Yogyakarta, Puro Pakualaman juga rutin menyelenggarakan seremoni kebudayaan Jawa. Salah satunya seperti grebeg gunungan yang diadakan 3x dalam setahun. Yaitu pada perayaan Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Mas Lurah Jogo Sarono mengatakan bahwa sebelum Covid-19, Puro Pakualaman sering mengadakan kegiatan latihan menari tradisional. "Dulu itu ada latihan nari, tari tradisional setiap hari senin sore atau kamis sore. Buat umum, siapa yang mau silahkan. Tapi biasanya yang ikut ya cuma anak-anak belakang Puro. Ada juga khusus latihan nari buat abdi dalem, namanya abdi dalem bedhaya".

Namun, sangat disayangkan akibat pandemi Covid-19 aktivitas pengunjung maupun aktivitas rutin Puro Pakulaman mulai dihentikan oleh pihak Keraton hingga kini. "ya, karna pandemi sementara ditutup, cuma ini juga pas kebetulan sedang ada perbaikan" begitu penuturan salah seorang abdi dalem Puro Pakualaman tersebut.

Jadi, selain faktor pandemi, hal ini juga dikarenakan adanya proses rehabilitasi bangunan Puro Pakualaman. Oleh karena itu, Regol Wiwara Kusumo yang merupakan gerbang pintu masuk kompleks Puro Pakualaman pun harus ditutup dan selalu dijaga ketat oleh para abdi dalem Puro Pakualaman.

Gimana, berminat nggak berkunjung ke Puro Pakualaman setelah pandemi ?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun