***
Tolong belikan bibit ini di toko pertanian.
Aku terkejut menerima dan membaca surat yang dititipkan ayah pada seorang teman untukku. Tulisan tangan rapi pensiunan guru SMK Pertanian itu, berisi satu permintaan tanpa penjelasan. Hanya daftar nama aneka sayuran sertan lima lembar uang kertas berwarna merah.
Dua tahun lalu. Usai pensiun sebagai guru. Ayah menyerah pasrah untuk mengikuti keinginan ibu. Kembali ke kampung ibu. Di rumah nenekku. Kemudian meminta aku dan istriku yang baru sebulan menikah untuk mendiami rumah.
Butuh lima jam dengan menggunakan sepeda motor, hari itu juga kutemui ayah dan ibu. Seperti bertahun-tahun lalu. Kampung ibuku, masih tanpa lampu. Termasuk rumah panggung tua peninggalan nenekku.
Saat menikmati segelas kopi buatan ibu, Ayah menceritakan situasi terkini anak-anak muda di kampung ibu usai wabah corona.
Anak-anak muda itu banyak yang harus putus sekolah. Menurut cerita ayah, mereka akan semakin kehilangan arah, jika dibiarkan hanya berdiam diri di rumah. Atau, mereka akan bikin ulah. Lagi, menurut ayah, sesungguh ada pilihan lain. Menjadi buruh upah, di kebun kopi atau di sawah. Tapi momen itu tak datang setiap waktu.
Karena itu, ayah berniat mengajak anak-anak muda yang putus sekolah, untuk memanfaatkan pekarangan rumah mereka dengan menanam aneka sayuran. Setidaknya itu bisa menambal kebutuhan harian.
"Uang untuk membeli bibit itu, uang mereka! Disisihkan dari uang upah yang mereka dapatkan."
"Oh. Yang tadi...."
"Iya. Baru empat orang yang mau."
"Tak masalah, kan?"
"Malah bagus! Mengubah perilaku itu, bisa dari kecil atau sedikit!"
Aku membisu. Ayah tersenyum, sambil meraih gelas berkopi. Jelang senja, suasana kampung ibu terlihat sepi.
***