Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Suara Hujan

4 November 2022   15:32 Diperbarui: 4 November 2022   15:37 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lagi ritmis. Gerimis telah menjelma butir-butir hujan. Menghadirkan riuh deting di atap rumah. Meluluhkan bisikan hening di pintu resah.

Senja menitipkan sesak kabut di tepian cermin bening. Seraut wajah lusuh bergeming. Membiarkan tiupan angin menggoda helai-helai rambut legammu. Menemani tarian bisu di ruang tamu.

"Hujan lagi, Mas!"

Suaramu mengusir bisu menjauh dari ruang tamu. Mungkin menyelinap di antara lipatan tirai jendela, kemudian jatuh terjerembab di halaman. Atau ia bertahan, dan bersembunyi di antara hunjaman bulir hujan. Bersiap untuk kembali.

"Kau rindu?"

Terlambat! Satu pertanyaanku, lebih dari cukup untuk mengajak pulang bisu, kembali merajai ruang tamu. Di antara derai hujan, kau dan akupun kembali mengarsir gulir waktu.

***

"Aku harus pergi, kan?"

Sekilas, tanganmu bergetar di udara. Dan lenyap, ketika segelas kopi, kau letakkan di hadap dudukku.

Tanpa suara. Kakimu memilih mengajak tubuhmu mendekati jendela. Mataku melewati punggungmu, menatap sisa-sisa hujan yang ditinggalkan senja.

"Kapan Mas berangkat?"

Bisikan tanyamu mengiringi gerak tubuhmu. Berbalik membelakangi jendela. Matamu menatapku. Akumengerti, kali ini kau memilih tak duduk di sisiku. Kau ingin sembunyikan tangismu.

"Besok pagi!"

***

"Kali ini, pergilah bersamaku."
"Aku belum siap, Mas!"

Berkali, kuajukan ajakan pergi bersama. Dan, kembali kutemui jawaban yang sama. Aku tak mengerti alur pikiranmu. Empat tahun berlalu. Kau lebih memilih membungkam rindu dengan caramu.

"Tapi, Kau ibunya."
"Tolong Mas jelaskan padaku. Satu alasan yang membuatku pantas mengaku sebagai ibu? Aku hanya perempuan yang..."

Mungkin, ada benarnya yang diujarkan para pujangga. Hujan adalah titik ternyaman membasuh jejak luka. Hujan pun mampu menjadi bilik persembunyian air mata.

Malam itu. Kubiarkan malammu lenyap dalam tangismu. Di pelukku.

***

Pita berwarna merah jambu, menghiasi rambut panjang sebahu. Milik wajah mungil yang terpasung dalam tiga pigura kayu. Tersusun dan tergantung rapih di dinding ruang tamu. Di dekat mesin jahit milikmu.

"Istirahatlah!"
"Sedikit lagi, Mas! Tinggal menyambung kerah dan memasang tali pinggang."

Empat jam berlalu. Jemarimu yang terlatih, sibuk merangkai potongan-potongan kain menjadi sehelai baju.

"Aku bisa pergi lusa, kan?"
"Jangan. Aku ingin, sebelum...."

Kalimatmu tak selesai. Sesaat sunyi singgah di ruang tamu.

"Mas tak mungkin lupa. Lusa hari ulang tahunnya, kan?"

Suara hujan, diam-diam menyeruak ke ruang tamu. Menemani gerak lincah jemarimu. Dan air matamu.

***

Agaknya, cahaya mentari masih enggan menemui pagi. Begitupun bulir-bulir embun, harus kembali rela digantikan rinai.

"Diminum, Mas?"

Segaris senyuman menghiasi wajah pagimu. Asap tipis memutari bibir segelas kopi yang kau ajukan di hadap dudukku.

"Kau benar-benar tak ingin pergi bersamaku?"

Gerak pelan kepalamu memberi tahu. Kau masih bertahan dengan keputusanmu. Menyintas ruang dan waktu. Caramu membungkam rindu.

"Aisyah akan baik-baik saja, tanpa mengenalku."
"Tapi..."
"Seiring waktu, kuharap Istrimu pun akan memaafkan Aku."

Tak lagi ada asap tipis yang mengambang di atas bibir gelas berkopi. Ia telah memuai di antara sunyi pagi.

"Mas ingat permintaanku, kan? Jika nanti kembali, kuharap..."

Kuikuti tatapan matamu yang berpindah ke dinding ruang tamu. Tiga pigura kayu terpasung kaku. Memajang wajah mungil dengan rambut hitam sebahu. Berhias pita berwarna merah jambu.

Matamu pun beralih ke bawah deretan foto itu. Mataku tertumbuk pada satu pigura kayu tanpa foto, yang tergeletak di atas mesin jahitmu. Kau pasti tahu. Kau tak butuh jawabku untuk itu.

"Haruskah kuajukan satu pinta, tolong sampaikan salamku untuk istrimu dengan caramu?"

Kurasakan, matamu menikam manik mataku, usai kugenggam erat jemarimu.

Akupun tahu. Kau masih menyimpan satu pintamu, yang tak mungkin mampu kau ungkapkan padaku. Sebuah pengakuan, kaupun istriku.

Di halaman. Rinai pagi kembali berganti rintihan hujan.

Curup, 04.11.2022
zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun