"Kapan Mas berangkat?"
Bisikan tanyamu mengiringi gerak tubuhmu. Berbalik membelakangi jendela. Matamu menatapku. Akumengerti, kali ini kau memilih tak duduk di sisiku. Kau ingin sembunyikan tangismu.
"Besok pagi!"
***
"Kali ini, pergilah bersamaku."
"Aku belum siap, Mas!"
Berkali, kuajukan ajakan pergi bersama. Dan, kembali kutemui jawaban yang sama. Aku tak mengerti alur pikiranmu. Empat tahun berlalu. Kau lebih memilih membungkam rindu dengan caramu.
"Tapi, Kau ibunya."
"Tolong Mas jelaskan padaku. Satu alasan yang membuatku pantas mengaku sebagai ibu? Aku hanya perempuan yang..."
Mungkin, ada benarnya yang diujarkan para pujangga. Hujan adalah titik ternyaman membasuh jejak luka. Hujan pun mampu menjadi bilik persembunyian air mata.
Malam itu. Kubiarkan malammu lenyap dalam tangismu. Di pelukku.
***
Pita berwarna merah jambu, menghiasi rambut panjang sebahu. Milik wajah mungil yang terpasung dalam tiga pigura kayu. Tersusun dan tergantung rapih di dinding ruang tamu. Di dekat mesin jahit milikmu.