"Mas, pernah melukis langit?"
Akupun menengadah. Mataku mengikuti tatapanmu yang lelah. Sejenak melupakan jejak-jejak bisu, yang sejak tadi menemani riak risau yang beku. Menyajikan rentak tarian hampa di laju waktu.
Di langit, warna kelabu masih betah bertahan. Bergelayut di antara lipatan-lipatan awan. Agaknya menitip pesan, tak akan ada lekuk pelangi yang disisakan hujan.
"Aku ingin melukis langit, Mas!"
Kali ini, tatapanku terdampar di wajahmu. Dan aku mengerti. Senja ini, lekuk pelangi tak akan terlihat di langit seusai hujan. Ia masih tersesat di ruang persembunyian.
Di matamu. Dalam tangismu.
***
Langit masih disibukkan antrian rinai hujan. Begitu juga ruang tamu yang dipaksa menjamu bisu.
"Mas tak pernah memberiku bunga, kan? Padahal Mas tahu, Aku suka bunga."
Seperti senja-senja kemarin. Tanyamu adalah pengusik bisu yang acapkali merajai ruang tamu. Pun, seperti kemarin. Tak ada gores lembut jemarimu pada bentangan kain putih yang terpasak di hadapanmu.
"Apakah karena bunga makhluk hidup. Dan, Mas tak mau memetiknya untukku, sebab hal itu akan menyakiti mereka?"
Sekilas, kulihat segaris tipis senyummu tersangkut di sudut bibirmu. Aku menikmati garis itu, dan mencoba mengurai alur pikirmu. Sekaligus meraba arah bicaramu.
"Atau, Mas punya alasan lain? Misalnya, Mas bingung memilih bunga, karena terlalu banyak warna dan aroma?"
Perlahan, kedua kakimu melangkah pelan. Mengantarkan tubuhmu duduk ke sisiku. Jemari tangan kananmu memagut erat genggaman tangan kiriku.
"Mas tak pernah mau menjawab, kan?"
Mata air kembali hadir di kedua sudut matamu. Kau sudah tahu, tak pernah ada jawabku untukmu, usai kau lontarkan pertanyaan itu.
Kubiarkan gulir waktu menjaga rahasiaku darimu: Kaulah bungaku.
***
"Mas tahu warna langit?"
"Biru, kan?"
Telingaku menangkap nada tawamu yang renyah. Nada yang menjadi pertanda, jika aku sudah terjebak masalah.
"Kenapa tertawa?"
Lagi, liang telingaku dipenuhi tawa. Kali ini berganti nada riang. Pertanda, kau sedang merayakan sebuah kemenangan.
"Jawabanku salah?"
Tak lagi ada tawamu. Hanya anggukan pelan kepalamu. Dan, kau pasti tahu. Aku lebih memilih menunggu. Penjelasan darimu.
"Warna biru adalah titik terjauh jangkauan mata manusia, Mas."
"Hah?"
"Laut dan gunung yang jauh pun, akan terlihat biru, kan?"
Kusimak ujaranmu yang pelan dan perlahan. Namun, penuh keyakinan. Pun, tak tersedia celah bagiku untuk menyanggahmu. Sebab, pondasi keyakinan adalah kebenaran. Hanya keyakinan, satu-satunya cara yang mampu menggugat sebuah kebenaran.
"Terkadang, aku ingin tahu. Cinta Mas untukku, warnanya apa?"
Tatapanmu lekat ke mataku. Menunggu. Aku terkejut mendengar tanyamu. Mencari tahu. Tapi pikiranku terperangkap ragu.Â
Haruskah aku kembali menjawab warna biru? Atau memecah situasi pikir buntu, dengan memilih warna merah jambu?
"Tak usah jawab! Bagiku, cinta Mas untukku adalah warna langit!"
"Biru? Tapi, tadi..."
"Lebih jauh. Dan, tanpa tapi!"
***
Irama jarum jam dinding, berdetak teratur. Namun, tak mampu menjelma sebagai nyanyian pengantar tidur. Begitupun rentak tarian bisu di kamar tidur. Tak lagi sanggup menghibur.
Senjaku lenyap tergantikan malam. Dalam senyap, malam pun beranjak pergi diam-diam. Membiarkan anganku terpenjara kesepian. Jeruji penantian.
Menanti satu pertanyaan yang tak mungkin pernah ada.
"Mas! Lukisan langitku bagus, kan?"
Curup, 10.09.2022
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H