"Maaf, Kek! Hampir pukul tiga. Anak-anak mesti bersiap untuk gladi resik upacara penurunan bendera."
"Bukannya jadwalku hingga jam empat?"
"Pergeseran jadwal, Kek!"
"Beri waktu sepuluh menit. Aku harus ceritakan satu kisah lagi. Tentang anak...."
"Maaf! Ini perintah dari...."
Kalimat lelaki berbadan tegap itu terhenti. Sekilas anggukkan kepala, memintaku untuk mengerti.
"Tapi...," Kalimatku tersekat, saat mataku melihat anak-anak beranjak dari lantai ubin tempat duduk mereka.
Beberapa orang panitia yang kutemui ceria pagi tadi, tampak terburu dan sibuk memberi arahan pada seratusan anak-anak itu untuk segera meninggalkan Balai Agung. Termasuk sosok tegap yang baru saja bertukar bisikan denganku.
Mataku menatap tubuh-tubuh letih berseragam sekolah itu, bergerak tertib menuju lapangan untuk melengkapi prosesi upacara. Kembali mengulang seperti pagi tadi. Bedanya, kali ini penurunan bendera.
"Kenapa jempol Ayah, hanya bergerak satu kali?"
"Lupakanlah!
"Tadi ada pesan panitia. Ambil uangnya, setelah upacara penurunan bendera!"
"Biarlah! Hayuk, pulang!"
"Kenapa Ayah...."
Tertatih, kuayun langkah beserta tongkat kayu jatiku. Tergesa, meninggalkan si Ragil, dan mengabaikan sapaan dari beberapa lansia berseragam sepertiku, saat berpapasan.
***
"Ayah!"
Tergopoh berusaha menyamakan langkah, tangan si Ragil memegang pelan lengan kiriku. Membuat langkah dan ketukan tongkatku menemukan kembali irama harmoni agar segera menjauh dari Balai Agung.
"Dengarkan! Aku tak mau lagi bercerita tentang sejarah. Tidak juga besok atau tahun depan. Sesungguhnya, mereka tak pernah ingin mengetahui sejarah di hari kemerdekaan ini, kan? Mereka hanya ingin...."