Baru saja sendok menjauh dari mulutku. Tanyamu menyapu gendang telingaku. Wajahmu memasang raut ragu. Matamu memajang tanda menunggu. Kuanggukkan kepala, agar melihat senyummu.Â
Aku tak akan bercerita padamu, saat itu barisan gigiku lagi berjuang mengoyak potongan kecil daging sapi yang majal dan potongan wortel yang keras. Beradaptasi dengan irisan daun bawang serta saledri yang terlalu lembek dan lengket.
"Asin? Atau kurang garam?"
Kulihat senyummu, saat kuajukan dua jempol tanganku.Â
Kau tak akan tahu. Saat itu lidahku sedang sibuk melupakan kuah sop, usai gigiku menemukan dan perlahan menghancurkan butiran kristal garam.
Namun, kebodohanku itu terlalu cepat berakhir hari itu. Saat kau meminta satu suapan dari piringku.
"Kenapa Mas berbohong?"
Sarapan pertamaku pagi itu, ditemani olehmu sebagai istriku. Dan airmatamu.
Kau mungkin akan mengingat, aku telah merahasiakan rasa masakan itu darimu sebagai sebuah kebohongan. Tapi kau terlupa, aku sedang belajar sedikit kebodohan dari banyak kebodohan karena menikahimu.
***
"Kau bahagia menikah dengan anakku?"
Seperti malam saat aku memintamu menjadi istriku. Malam tadi, malam terakhir sepasang mata tua itu menikam manik mataku. Namun, tak akan membiarkan tunggu untuk jawabanku.