Ikatan dalam bentuk apa? Secara sadar, aku mau dan rela menyusupkan waktu, olah pikir serta olah rasa. Ketika meracik tulisan, menayangkan bacaan, hingga membaca dan berkunjung ke artikel teman. Semampuku! Walau acapkali terlambat.
Ikatan lain? Aku terpaku bisu, ketika teman-teman Kompasianers "merayakan" jejak hariku memasuki "gerbang ketuaan" dengan tulisan bak warna pelangi. Bilang Mbak Ayu, seperti Perayaan Diwali di "Negeri Nehi".
Kata-kataku terjerembab airmata. Di senyap belantara rimba, Teriakanku menjadi gumam gagu, "Sayangku untukmu!"
Kompasiana menjadi jembatan, tak hanya sebagai ajang pertemuan rasa dan pertikaian kata dalam tulisan. Namun, mampu menyatukan pilinan rasa dan jalinan rasa atas nama kebersamaan.
Keempat. Segelas Kopi, bukan Filosofi
Di Curup, Kopi adalah salah satu komoditas hasil tani. Kota Hujan adalah potret singkat klimatologis untuk identitas letak geografi. Bagiku, Kopi dan Hujan menjelma sebagai bumbu jitu mengarsir menu rindu untuk melupakan jenuh tunggu.
Menikmati segelas Kopi mengajariku: Rasa pahit tak harus bermakna sakit, jika menyesapnya sedikit demi sedikit. Makna rela dari rasa manis gula yang tetap bersembunyi, karena tertutupi dengan sebutan kopi.
Dan, paduan rahasia rasa itu menjadi tambahan bahan bakar imajinasiku. Membungkam jerat pekat kepenatan dalam rutinitas keseharianku, agar meregangkan satu, dua atau banyak sumbatan rasa dan asa berwujud tulisan.
Andai sebuah petualangan panjang. Kompasiana menjadi titik pertemuan bagi peracik rasa dari segelas kopi. Juga sebagai titik persinggahan rahasia-rahasia rasa untuk penikmat kopi.
Jejak petualangan akan menjumpai parade kata: Datang, Hilang, Pergi, Kembali, atau Berganti.
Akhirnya...