Saengil chugha habnida
Saengil chugha habnida
Saranghaneun uri Appa
Saengil chugha habnida
Usai subuh itu. Dua hari lalu. Uni Tya, Nakdisku berdiri di depan pintu kamarku. Melantunkan lirik berbahasa Korea itu, sambil mengantarkan segelas kopi panas untukku.
Jika berpijak pada nada lagu, kiramologiku menyatakan: itu adalah nyanyian selamat ulang tahun untukku. Rasaku menjadi warna-warni. Padahal masih di kamar tidur, belum tersesat di hutan mini.
Aih, seiring pertambahan angka di lajur usia, semakin berkurang waktu untuk bersama. Hiks...
Jejak Petualangan di Kompasiana
Khusus hari ini, pada tanggal lahir Kompasiana. Aku mau nulis tulisan edisi khusus juga. Menggunakan pantulan segitiga: Aku, Kompasiana dan Segelas Kopi, ketika meracik tulisan ini. Boleh, ya?
Pertama. Kukira Muara, Ternyata Samudera
Nanti. Ketika gulir hari menyentuh titik ke duapuluh delapan di bulan Desember. Menjadi tahun ketiga, aku belajar merenangi selat kata, agar bermuara di Kompasiana.
Ternyata aku keliru. Tempat ini bukan lagi tempat untuk belajar merenangi, tapi juga memaksaku belajar untuk merenungi. Sajian aneka tulisan dan ragam karakter Penulisnya, mengubah sudut pandangku. Kompasiana bukan muara, tapi samudera.
Berkali, aku tersesat menakar rasa. Acapkali aku tersendat memungut makna. Hiks...
Maka, kubiar diriku seperti seekor ikan kecil di lautan. Menikmati ketenangan ceruk-ceruk keheningan di kedalaman, agar tak mengusik terjangan gelombang pasang dan riak ombak di permukaan. Aku memilih tenggelam. Namun, tidak diam.
Kedua. Berbatas Melompati Batas
Dalam berbagai kesempatan, aku kerapkali menyebut diriku "orang hutan". Curup tempat kelahiran, sekaligus tempat berdiam dan menambang rezeki, kugambarkan seperti "hutan". Secara kata maupun makna.
Terkadang, hutan menjadi petilasan sepi menguak sunyi. Mencumbui embun, menyiangi cahaya mentari, menyaksikan kesahduan senja dalam pergantian hari. Atau merimbunkan bisikan kerinduan di butiran hujan yang berjatuhan.
Dan, mengubahnya menjadi senjata rekaan dengan peluru bersayap kata-kata.
Namun, tak pula mampu kubantah. Hutan memiliki titik batas dari keliaran negeri antah berantah. Perkelahian tak perlu serta ritual berjibaku dengan gulir waktu, menjadi alasan klise deretan berita dan barisan cerita.
Mungkin, alam memiliki caranya sendiri, agar orang-orang, termasuk aku tak perlu melampui batas.
Ketiga. Mengikat Tanpa Ikatan
Nyaris tiga tahun berlalu, aku merasakan ada ikatan di Kompasiana. Tentu saja bukan, tentang tulisanku yang tak seberapa, dan pasti kalah jauh dari legenda hidup di Kompasiana. Baik Secara kuantitas maupun kualitas.
Sebut saja Mamanda Tjiptadinata Effendi, Pak Katedra Radjawen, Mas Hendro Santoso, Suhu Susy Haryawan, Uda Irwan Rinaldi Tanjung, Prof Felix Tani, Pak Rustian Ansori, Mbak Suprihati, hingga Mbak Lilik Fatimah Azzahra. Aih, barisan nama ini akan semakin memanjang.
Ikatan dalam bentuk apa? Secara sadar, aku mau dan rela menyusupkan waktu, olah pikir serta olah rasa. Ketika meracik tulisan, menayangkan bacaan, hingga membaca dan berkunjung ke artikel teman. Semampuku! Walau acapkali terlambat.
Ikatan lain? Aku terpaku bisu, ketika teman-teman Kompasianers "merayakan" jejak hariku memasuki "gerbang ketuaan" dengan tulisan bak warna pelangi. Bilang Mbak Ayu, seperti Perayaan Diwali di "Negeri Nehi".
Kata-kataku terjerembab airmata. Di senyap belantara rimba, Teriakanku menjadi gumam gagu, "Sayangku untukmu!"
Kompasiana menjadi jembatan, tak hanya sebagai ajang pertemuan rasa dan pertikaian kata dalam tulisan. Namun, mampu menyatukan pilinan rasa dan jalinan rasa atas nama kebersamaan.
Keempat. Segelas Kopi, bukan Filosofi
Di Curup, Kopi adalah salah satu komoditas hasil tani. Kota Hujan adalah potret singkat klimatologis untuk identitas letak geografi. Bagiku, Kopi dan Hujan menjelma sebagai bumbu jitu mengarsir menu rindu untuk melupakan jenuh tunggu.
Menikmati segelas Kopi mengajariku: Rasa pahit tak harus bermakna sakit, jika menyesapnya sedikit demi sedikit. Makna rela dari rasa manis gula yang tetap bersembunyi, karena tertutupi dengan sebutan kopi.
Dan, paduan rahasia rasa itu menjadi tambahan bahan bakar imajinasiku. Membungkam jerat pekat kepenatan dalam rutinitas keseharianku, agar meregangkan satu, dua atau banyak sumbatan rasa dan asa berwujud tulisan.
Andai sebuah petualangan panjang. Kompasiana menjadi titik pertemuan bagi peracik rasa dari segelas kopi. Juga sebagai titik persinggahan rahasia-rahasia rasa untuk penikmat kopi.
Jejak petualangan akan menjumpai parade kata: Datang, Hilang, Pergi, Kembali, atau Berganti.
Akhirnya...
Hari ini, tiga belas tahun rentang usiamu. Tentu tak mudah mengurai kusut dan merajut keberadaanmu.
Di antara gagap dan gugupku menyiasati jarak, ruang, dan waktu. Izinkan aku menulis ulang nyanyian Nakdisku. Mewakilkan rasaku untukmu.
Saengil chugha habnida
Saengil chugha habnida
Saranghaneun uri Kompasiana
Saengil chugha habnida
Curup, 22.10.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Selamat ulang tahun ke-13 Kompasiana
"Merangkum Opini Bemakna, Mengubah Noise menjadi Voice"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H