Aku mengingat begitu jengkelnya kakek di masa pemilu. Nyaris setiap hari kendaraan Patwal lalu lalang melintas di depan rumah. Bukan karena kesibukan mereka mengawal rombongan pejabat, calon bupati, calon gubernur hingga calon anggota legislatif. Â Tapi bunyi sirene.
Dua tahun lalu, seorang anak muda terluka lumayan parah di kepala, akibat pukulan tongkat kakek. Karena berkali-kali memukul tiang listrik dengan batu. Saat kantor kelurahan yang hanya berjarak tiga rumah mengalami kebakaran.
"Bodoh! Kan sudah ada sirene. Kenapa masih pukul tiang listrik?"
Itu pembelaan diri kakek sambil menahan amarah. beberapa orang segera mengajak anak muda itu menjauh dari kakek. Untung saja, mobil damkar segera datang dan memadamkan api yang hanya menghanguskan sebagian kantor. Â
Aku tak sempat menyaksikan peristiwa kebakaran itu, karena kakek memelukku tak boleh pergi. Bukan takut dengan kebakaran yang begitu dekat dari rumah. Tapi bunyi sirene mobil damkar yang terus saja meraung kencang, menyebabkan rasa takut dan getar tubuh yang begitu kuat.
***
"Sudah berapa, Kek?"
"Tujuh. Dua mobil polisi, lima mobil ambulan!"
Satu minggu ini, sejak pagi hingga sore hari. Kakek memilih menghabiskan hari dengan duduk di beranda. Kecuali di waktu makan, salat atau ketika ingin tidur siang. Dan, seusai salat magrib, saat makan malam, kakek akan melaporkan jumlah sirene yang melintas di depan rumah.
"Kau tahu? Ternyata, semakin sering ambulan lewat, semakin berkurang getaran di tanganku!"
"Pandemi semakin parah, Kek!"