Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menunggu Sirene

8 Juli 2021   15:59 Diperbarui: 8 Juli 2021   16:11 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ambulan (sumber gambar: pixabay.com)

Kali ketiga, sore itu. Bunyi sirene semakin lama semakin jelas. Dan bertambah keras saat melintas persis di depan rumah. Perlahan suaranya menghilang di udara, lenyap bersama bayangan mobil ambulan.

Namun, tidak dengan reaksi tubuh lelaki sepuh yang duduk di hadapanku. Walau berusaha keras menyembunyikan kecemasan dengan meraih tangkai gelas berisi madu, terlihat jelas tangan itu bergetar. Tremor hebat.

"Kenapa gak mau ke dokter? Siapa tahu..."

"Ini bukan tremor akibat sakit fisik, Nak!"

Kakek tersenyum, sambil meletakkan gelas di atas meja di beranda rumah. getaran tangan tua itu mulai berkurang, walau tak hilang.

"Ini trauma psikologis!"

Aku mengingat kisah Kakek. Sekali waktu, ibu pernah bercerita. Di masa pendudukan Jepang. Karena tak ada beras di rumah, Kakek nekat mencabut singkong di kebun pada malam hari. Kakek tertangkap dan ditahan selama dua hari juga mengalami penyiksaan fisik.

Bilang ibu, untung kakek masih hidup! Andai dituduh sebagai mata-mata, mungkin saja kakek terbunuh.

Akibatnya, sepuluh hari kakek tak bisa jauh dari tempat tidur. Kakek bukan seorang pencuri, sebab kebun itu milik sendiri. Namun, kakek terbukti melakukan kesalahan fatal. Melanggar jam malam.

Bukan bekas luka dari jejak penyiksaan yang membuat  Kakek trauma mendalam. Tapi bunyi sirene sebagai pertanda dimulai jam malam. 

"Kau beruntung, tak pernah mengenal jam malam!"

Lelaki berusia sembilan puluh tiga tahun itu tersenyum. Mataku kembali melihat kedua tangan kakek yang kembali bergetar hebat. Kali keempat menjelang senja, sebuah mobil ambulan melaju kencang. Sirenenya meraung-raung. Dan, menghilang dari pandangan.

***

"Sirene sialan!"

Lontaran itu sudah menjadi ritual di waktu magrib bulan ramadan. Kakek akan menggerutu sambil meraih menu berbuka yang tersedia di atas meja. Berusaha keras menata tangannya yang bergetar hebat, agar makanan bisa dimasukkan ke mulut. Dan, mata ibu pasti menatapku meminta untuk diam.

 

Aku pernah menebak-nebak dalam hati, manakah yang lebih dulu dilakukan kakek. Membaca doa berbuka puasa atau memaki  bunyi sirene?

 "Apakah semua kulit sapi habis dikonsumsi, sehingga tak lagi ada beduk di masjid?"

"Beduk dianggap kuno, Kek!"

"Kenapa harus diganti sirene? Kan, bisa juga membaca doa berbuka puasa, jika niatnya..."

Jika kakek sudah melontarkan pertanyaan seperti itu, aku dan ibu akan memilih membisu. Membiarkan suasana berbuka diwarnai kisah-kisah masa lalu.

Kakek pernah membandingkan kehebatan bunyi kentongan yang terbuat dari bambu tua, dengan jenis bunyi pukulan yang berbeda-beda. Setiap rumah akan punya, sebagai cara mengabarkan bahaya atau tanda berduka.

Aku mengingat begitu jengkelnya kakek di masa pemilu. Nyaris setiap hari kendaraan Patwal lalu lalang melintas di depan rumah. Bukan karena kesibukan mereka mengawal rombongan pejabat, calon bupati, calon gubernur hingga calon anggota legislatif.  Tapi bunyi sirene.

Dua tahun lalu, seorang anak muda terluka lumayan parah di kepala, akibat pukulan tongkat kakek. Karena berkali-kali memukul tiang listrik dengan batu. Saat kantor kelurahan yang hanya berjarak tiga rumah mengalami kebakaran.

"Bodoh! Kan sudah ada sirene. Kenapa masih pukul tiang listrik?"

Itu pembelaan diri kakek sambil menahan amarah. beberapa orang segera mengajak anak muda itu menjauh dari kakek. Untung saja, mobil damkar segera datang dan memadamkan api yang hanya menghanguskan sebagian kantor.  

Aku tak sempat menyaksikan peristiwa kebakaran itu, karena kakek memelukku tak boleh pergi. Bukan takut dengan kebakaran yang begitu dekat dari rumah. Tapi bunyi sirene mobil damkar yang terus saja meraung kencang, menyebabkan rasa takut dan getar tubuh yang begitu kuat.

***

"Sudah berapa, Kek?"

"Tujuh. Dua mobil polisi, lima mobil ambulan!"

Satu minggu ini, sejak pagi hingga sore hari. Kakek memilih menghabiskan hari dengan duduk di beranda. Kecuali di waktu makan, salat atau ketika ingin tidur siang. Dan, seusai salat magrib, saat makan malam, kakek akan melaporkan jumlah sirene yang melintas di depan rumah.

"Kau tahu? Ternyata, semakin sering ambulan lewat, semakin berkurang getaran di tanganku!"

"Pandemi semakin parah, Kek!"

Pembicaraan di meja makan tertunda. Sayup, kembali terdengar bunyi sirene. Kakek terdiam, sambil mengangkat delapan jarinya yang bergetar.  Namun, pelan. Kakek tersenyum menatapku.

"Itu sirene mengangkut pasien. Bukan membawa jenazah!"

"Apa bedanya, Kek?"

"Kau tak belajar?"

***

"Kau jaga rumah. Ibu mau bawa kakek ke rumah sakit!"

Tak sempat kujawab. Tubuh ibu menghilang dari kamar. Sesaat kudengar langkah-langkah bergegas, serta bunyi pintu rumah ditutup agak keras. Mataku mengeja angka digital yang ada di ponselku. Pukul tiga dini hari.

Kakek kenapa, Bu?

Sudah hampir dua jam terkirim, tapi pesanku belum dibaca ibu. Aku menunggu.

Suara sirene dari mobil ambulan mengusik tidurku. Semakin dekat dan semakin kuat. Tak terdengar deru mobil yang melaju kencang dan bunyi sirine yang menghilang. Bunyinya terdengar berulang-ulang tanpa jeda di depan rumah.

Kakiku berlari melewati pintu kamar, tergesa membuka pintu ruang tamu. dan terhenti saat mataku  melihat sebuah mobil ambulan yang berhenti tepat di pintu pagar. Benakku terpukul usai membaca tulisan di dinding mobil. Mengajak ingatanku mengulang pertanyaan kakek saat makan malam.

"Kau tak belajar?"

Curup, 08.07.2021

Zaldy Chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun