Partanyaan itu pasti untukku. Namun, wajah lelaki itu tak menghadapku. Matanya menatap ke arah jalan yang sepi. Aku memilih diam dan mereguk isi gelas berkopi milikku, saat matanya beralih menatapku.
"Kau tuli? Atau bisu?"
Ibuku benar. Suara lelaki itu tidak keras, tapi seperti sengatan kawanan lebah madu yang terusir paksa dari dahan pohon randu. Lagi, ibuku benar. Tatapan lelaki itu bukan seperti mata seekor elang yang mengintai, tapi mata yang tak mengenal rasa takut.
"Aku tak suka jadi yang kedua. Ini sudah hari ketiga! Besok pagi, jika aku belum datang, pulanglah!"
Ah! Begitu lekat ibu mengenal lelaki yang saat ini duduk di sebelahku. Ibuku tahu cara paling ampuh melumpuhkan lelaki itu. Membisu.
Tapi ibu tak pernah memberitahu nama sebenarnya lelaki itu. Hingga genggaman tangan malaikat maut menjemput ibu. Satu minggu lalu.
***
"Kau..."
Lelaki itu menutup mulutnya. Berjalan cepat menuju ke arahku. Melupakan kebiasaannya. Datang, memesan segelas kopi dengan isyarat jari, kemudian bersuara pelan dan tegas, "tanpa gula!"
Sesaat raut wajah lelaki itu berubah. Namun, tak menahan langkah. Aku segeraq bereaksi dengan berdiri. Bersiap menyongsong situasi tanpa kendali terjadi. Tapi sia-sia.
"Dasar bodoh!"