"Mungkin aku akan..."
"Membunuhnya?"
Perempuan itu menitip senyumnya pada bisu. Sejenak matanya menatap segelas teh yang tersisa setengah. Jemari tangan kirinya meraih ujung sendok yang terpaku di bibir gelas, dan segera memutar dasar gelas. Mata itu kemudian menatapku.
"Membunuhnya? Untuk apa?"
Aku menatap lengan kananku yang memerah dan masih menyisakan rasa gatal. Aku tak peduli, bila ada kaki atau sayap nyamuk jahanam itu yang tertinggal. Membunuh nyamuk malang itu, adalah sebuah seni mengakhiri rasa sakit.
"Biar ibu..."
"Dulu, dia terlalu muda untuk mati!"
***
Dia orang kedua yang datang memesan segelas kopi. Tanpa suara, hanya isyarat jari telunjuk diarahkan pada gelas yang berada di hadapku.
"Tanpa gula!"
Tiga hari berlalu. Lelaki itu menggunakan pola yang baku. Datang pagi, memesan kopi dengan isyarat jari, dan berujar dengan kalimat yang sama "tanpa gula!".
Sedikit berbeda pagi itu. Ia memilih duduk satu meja dan satu bangku denganku. Kepalaku menekuk pelan tapi tak ada balasan.
"Tinggal di mana?"
Partanyaan itu pasti untukku. Namun, wajah lelaki itu tak menghadapku. Matanya menatap ke arah jalan yang sepi. Aku memilih diam dan mereguk isi gelas berkopi milikku, saat matanya beralih menatapku.
"Kau tuli? Atau bisu?"
Ibuku benar. Suara lelaki itu tidak keras, tapi seperti sengatan kawanan lebah madu yang terusir paksa dari dahan pohon randu. Lagi, ibuku benar. Tatapan lelaki itu bukan seperti mata seekor elang yang mengintai, tapi mata yang tak mengenal rasa takut.
"Aku tak suka jadi yang kedua. Ini sudah hari ketiga! Besok pagi, jika aku belum datang, pulanglah!"
Ah! Begitu lekat ibu mengenal lelaki yang saat ini duduk di sebelahku. Ibuku tahu cara paling ampuh melumpuhkan lelaki itu. Membisu.
Tapi ibu tak pernah memberitahu nama sebenarnya lelaki itu. Hingga genggaman tangan malaikat maut menjemput ibu. Satu minggu lalu.
***
"Kau..."
Lelaki itu menutup mulutnya. Berjalan cepat menuju ke arahku. Melupakan kebiasaannya. Datang, memesan segelas kopi dengan isyarat jari, kemudian bersuara pelan dan tegas, "tanpa gula!"
Sesaat raut wajah lelaki itu berubah. Namun, tak menahan langkah. Aku segeraq bereaksi dengan berdiri. Bersiap menyongsong situasi tanpa kendali terjadi. Tapi sia-sia.
"Dasar bodoh!"
Plak! Plak! Plak!
***
Lelaki itu berbelok ke kanan. Menyentuh kardus bekas mi instan yang diajukan, dan mengusap pelan kepala dua bocah yang menutupi tubuhnya dengan warna perak.
Kakiku tergesa menyeberangi lalu lintas yang lengang. Lelaki itu berjalan pelan, sesekali menyapa orang yang dilewati. Sesaat berhenti di lampu merah pertigaan. Sekilas menepuk pundak anak muda yang menunduk menghampiri sambil memanggul gitar di trotoar. Lelaki itu berjalan cepat, menyeberangi jalan menuju toko sepatu.
Berjarak sekitar dua puluh meter di belakang, langkahku harus terhenti. Kulihat ayunan telapak tangan lelaki itu melayang begitu ringan, seperti kepak sayap kupu-kupu.
Bukan sedang menikmati sari pati dari kelopak mawar di taman kota. Namun, bergantian singgah di pipi seorang lelaki sebayaku yang berseragam juru parkir.
Tak tampak tanda perlawanan dari juru parkir. Pun, tak ada reaksi dari pemilik toko sepatu dan seorang ibu yang juga berhenti karena terhalang mendorong gerobak jamu. Semua memilih diam.
Mungkin sepertiku, berharap kejadian itu segera berakhir.
"Kenapa kau mengikutiku?"
Lelaki itu sudah berada di hadapku. Tiba-tiba. Tanpa aba-aba.
***
"Kopi, Mas?"
"Boleh. Coba buat tanpa gula, ya?"
Kuabaikan raut wajah istriku. Kepalaku masih penuh dengan pertanyaan dan pernyataan dari petugas di kantor polisi.
"Bagaimana kau bisa mengenal lelaki itu?"
"Aneh! Tak ada tanda kekerasan fisik. Hasil otopsi juga bukan bunuh diri. Tapi kematian alami."
"Kapan dan di mana terakhir kalian bertemu?"
"Dia biasa disapa Abah. Diketahui hidup sendiri. Dianggap preman, tapi tak ada laporan atau catatan kriminal."
"Menurutmu, lelaki itu ada hubungan dengan ibumu?"
"Jikapun ada, kukira hanya satu dari sejuta kemungkinan. Seseorang lelaki menemui kematian di atas kuburan. Dan, itu milik ibumu. Kau tak merasa ada yang janggal?"
Aroma kopi tercium dari arah pintu dapur. Tanpa senyuman, istriku meletakkan gelas berkopi itu di atas meja. Di hadap dudukku. Telapak tangan kirinya diselipkan pada jemari tangan kananku.
"Mas, masih memegang teguh pesan ibu, kan?"
Curup, 15.06.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H