Memang gitar tua ini menjadi kenangan
Juga gitar tua ini yang menjadi saksi
Saksi cintamu padaku, cintaku padamu
Yang tak akan pernah layu
Dulu aku sempat berpikir, lagu gitar tua itu sudah melebihi marwah lagu kebangsaan.
Alasanku? Setiap malam minggu. Di depan rumah. Di bangku kayu yang merangkap kursi tamu. Setelah salat isya, lagu itu berfungsi sebagai lagu pembuka.
Dengan petikan jemari pada gitar, lagu itu dinyanyikan ayah di hadapan ibu. Jika sudah begitu, aku dan para tetangga yang menyaksikan, mesti rela dicumbui cemburu.
Dari tetangga aku tahu. Ritual setiap malam minggu itu lebih dulu hadir. Jauh sebelum aku lahir. Waktu yang sama. Tempat yang sama. Lagu yang sama. Dengan nada juga petikan gitar yang sama.
Ibu hanya tersenyum, saat kutanyakan, apakah ayah pengagum Rhoma Irama? Aku memilih malu, ketika jari telunjuk ibu mengarah ke lemari berkaca. Di situ, puluhan koleksi kaset tua tersusun rapi tak berdebu. Bergambar Bung Rhoma.
Kakekku, yang meninggal tiga tahun lalu, pernah mengungkap sedikit kisah. Lagu gitar tua itu adalah pengganti mas kawin yang diminta ibu kepada ayah. Jangan tanya kenapa? Saat bercerita, kakek nyaris berbisik menitip pesan, "rahasia!".
***
Hari ini, persis tujuh bulan lebih satu minggu, ayahku pergi meninggalkan ibu. Menyusul kepergian kakekku. Tiga tahun lalu.
Malam itu, ayah dan ibu bersiap melaksanakan ritual malam minggu. Tapi ayah tersungkur di pintu. Tak sempat memegang kusen pintu, kedua tangan ayah sudah penuh. Memegang gitar dan tongkat kayu.
Bilang ibu, ayah terjatuh, karena kaki ayah keliru memakai sandal baru. Ibu sama sekali tak menyalahkanku. Ketika usai pemakaman, aku diberitahu adik ayahku, sandal itu ukurannya kekecilan. Kubeli sebagai hadiah untuk ayah, dari gaji pertamaku.
Sejak saat itu, setiap malam minggu. Aku menggantikan posisi ayah menjalani ritual bersama ibu. Aku dan ibu tahu, suaraku tak seperti suara ayahku.
Petikan gitarku hanya untuk mengiringi irama anggukan kepala ibu, yang mendengarkan nada lagu itu sambil memejamkan mata dan membisu.
Kecuali malam minggu lalu. Ibu memaksaku mengulang larik terakhir lagu itu.
Pabila kau rindu padaku,
Petiklah dan menyanyilah
Kukira tujuh kali ulang. Kali yang terakhir, kudengar lirih suara ibu. Dan, tak perlu kuceritakan, bagaimana rasaku melihat bulir bening memanjang di pipi tua ibu.
Kau harus tahu, saat itu, ibu hanya ingin menikmati bisu.
***
Deras hujan disertai terpaan angin malam tadi, membuat ibu gusar. Namun, menyerah pasrah saat aku meminta ibu tak keluar.
"Kan, bukan malam minggu, Bu?"
"Tapi, aku ingin...."
Kalimat ibu tak selesai. Mata tua itu hanya menatap mataku. Ibu pasti tahu, keras kepalaku, dan keputusanku adalah warisan ayahku.
"Kau tahu Sapardi?"
"Hah? Bukannya, nama tetangga baru itu..."
"Sapardi penyair! Kau cari! Dia keliru tentang hujan!"
Jika nada suara ibu meninggi, aku memilih sunyi. Tak lagi bersuara, Ibu berbalik badan. Berjalan pelan, dan memilih mengurung diri di kamar.
Pukul satu dini hari. Kutemukan satu larik puisi di laman pencarian, usai kuketik "Sapardi dan Hujan"Â di layar ponselku.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
***
Senja ini, ibu pasti bahagia. Bukan di pemakaman sepi, seperti sore tadi. Mungkin sedang duduk bersama ayah di sana. Menyaksikan aku yang duduk di bangku kayu. Sendirian di depan rumah, sambil memangku gitar.
Namun, malam ini bukan malam minggu. Dan, aku sedang tidak ingin menyanyikan lagu gitar tua. Kepalaku, masih beku menghapal larik puisi Sapardi Djoko Damono yang diminta ibu.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu."
Curup, 31.05.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H