Sejak saat itu, setiap malam minggu. Aku menggantikan posisi ayah menjalani ritual bersama ibu. Aku dan ibu tahu, suaraku tak seperti suara ayahku.
Petikan gitarku hanya untuk mengiringi irama anggukan kepala ibu, yang mendengarkan nada lagu itu sambil memejamkan mata dan membisu.
Kecuali malam minggu lalu. Ibu memaksaku mengulang larik terakhir lagu itu.
Pabila kau rindu padaku,
Petiklah dan menyanyilah
Kukira tujuh kali ulang. Kali yang terakhir, kudengar lirih suara ibu. Dan, tak perlu kuceritakan, bagaimana rasaku melihat bulir bening memanjang di pipi tua ibu.
Kau harus tahu, saat itu, ibu hanya ingin menikmati bisu.
***
Deras hujan disertai terpaan angin malam tadi, membuat ibu gusar. Namun, menyerah pasrah saat aku meminta ibu tak keluar.
"Kan, bukan malam minggu, Bu?"
"Tapi, aku ingin...."
Kalimat ibu tak selesai. Mata tua itu hanya menatap mataku. Ibu pasti tahu, keras kepalaku, dan keputusanku adalah warisan ayahku.
"Kau tahu Sapardi?"
"Hah? Bukannya, nama tetangga baru itu..."
"Sapardi penyair! Kau cari! Dia keliru tentang hujan!"
Jika nada suara ibu meninggi, aku memilih sunyi. Tak lagi bersuara, Ibu berbalik badan. Berjalan pelan, dan memilih mengurung diri di kamar.
Pukul satu dini hari. Kutemukan satu larik puisi di laman pencarian, usai kuketik "Sapardi dan Hujan"Â di layar ponselku.