Anggaplah, seorang perempuan tahu, kebutuhannya satu gelas penuh. Apapun itu. Nah, lelaki calon pasangannya, mampu tidak memenuhi kebutuhan satu gelas itu? Jika mampu, apa lagi alasan menunda?
Bagaimana jika tidak mampu? Ada varian kedua.
Kedua. Kompromi Kebutuhan serta Kemampuan.
Secara rasional, tak akan berjodoh, jika kebutuhan seseorang satu gelas penuh. Namun, kemampuan calon pasangan hanya setengah gelas. Kecuali ada kompromi!
Ada dua jalan. Kompromi Pertama. Menurunkan standar kebutuhan dengan kesadaran atau sepenuh rela, agar setara dengan kemampuan pemenuhan oleh calon pasangan terhadap kebutuhan.
Kompromi Kedua. Karena kebutuhan satu gelas, sedangkan kemampuan hanya setengah gelas. Pasangan tersebut bersedia bersama-sama berjuang memenuhi kekurangan dari kebutuhan itu. Dan, rela menerima apapun hasil dari perjuangan tersebut.
Bakal sulit mengikat jodoh, ketika masing-masing pasangan belum tahu apa yang benar-benar dibutuhkan. Terkadang, bercampur antara kebutuhan dengan keinginan dan impian!
Gawatnya, akan semakin berat mengikat jodoh, jika berlaku abai atau tidak mau tahu, seberapa besar ukuran kemampuan calon pasangan untuk memenuhi kebutuhan itu.
Dan, apapun upaya serta usaha yang dilakukan untuk mengikat jodoh. Tanpa kekuatan doa, akan terasa sulit menjadi nyata.
Lupakanlah untuk menemukan lelaki yang sempurna, atau mendapatkan perempuan yang sempurna. Karena, keberadaan pasangan yang akan mewujudkan "kesempurnaan" itu.
Paragraf di atas, kukira bisa menjadi panduan apatah mencari jodoh secara otonom, atau melalui perjodohan pihak ketiga. Itu bukan rumusku. Tapi hipotesis kaum humanis. Sebab, no body is perfect, tah?