Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memilih Menulis, Usai Terjebak Reading Slump

18 Mei 2021   22:54 Diperbarui: 19 Mei 2021   07:44 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku bacaan (sumber gambar: pixabay.com)

Aku seperti tersesat di taman kenangan dulu. Bermain dalam genangan ingatan pada buku-buku yang pernah kubaca di masa kecilku.

Sejak kemarin, aku menikmati sajian tulisan dari teman-teman Kompasianers. Dengan tema Buku Bacaan Masa Kecil dan Hari Buku Nasional.

Ilustrasi anak kecil membaca (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi anak kecil membaca (sumber gambar: pixabay.com)
Tulisan Kompasianers yang Menggali Kenangan

Karena membaca kisah Deni Manusia Ikan, samar-samar aku mengingat kisah dulu. Gegara cerita yang masih terselip dalam majalah anak-anak itu, aku bertekad belajar berenang. Walau acapkali tenggelam atau sekadar berendam.

Saat membaca tulisan serial detektif Lima Sekawan, aku jadi ingat buku satu generasi berjudul Sapta Siaga. Dan tersenyum, mengenang saat itu bersama teman sepermainan, berlagak bak detektif magang. Mungkin mengalahkan imajinasi detektif Upin dan Ipin saat ini.

Ketika membaca artikel yang terpasang foto majalah Bobo. Aku jadi ingat majalah Ananda, Kuntum juga Kuncung! Itu majalah legendaris masa kecilku dulu. Termasuk majalah keluaran Disney!

Kisah seru pertarungan Paman Gober dengan Gerombolan si Berat. Cerita riweh Donald, Dessy dan Untung serta trio Kwak, Kwik serta Kwek. Atau kisah detektif Micky Mouse, Mini Mouse, Gufi, Pluto plus fantasi penemuan ajaib Profesor Lang Ling Lung!

Agaknya, akan semakin lengkap, jika ada tulisan yang mengulas kisah lucu dari komik Petruk-Gareng karya Tatang S! Dengan kisah tak terduga, sesuai topik hangat masa itu. Mirip kisah kritik sosial Pailul di Kompas Minggu.

Tanpa sadar, aku singgah ke bilik nostalgia. Kembali mengingat begitu sulitnya lepas dari kecanduan membaca berjilid-jilid buku cerita silat berukuran selebar telapak tangan orang dewasa karya Asmaraman Ko Ping Ho. Hingga dimarahi Amak (Ibuku).

Aku membayangkan, membaca artikel itu sambil mendengarkan lagu lawas milik Dan Byrd berjudul Boulevard. Dengan nada liris dan ritmis memutar lirik:

I don't know why I said goodbye
Just let me know you didn't go forever my books

Secara sadar, kugubah dua kata dari dua lirik tersebut. Harusnya "you said goodbye" menjadi "I said googbye", serta kata terakhir "my love" kugubah jadi "my books". Hiks...

Ilustrasi lemari berisi buku (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi lemari berisi buku (sumber gambar: pixabay.com)
Membaca, tapi Bukan Pemilik Buku

Walau tak persis ingat alur kisahnya. Aku merasa beruntung! Sempat melahap sebagian buku, yang ada dalam tulisan itu di masa kecilku. Namun, hal itu butuh perjuangan!

Dengan semua keterbatasan masa itu. Aku tak bisa membeli buku. Jadi, biar bisa membaca tanpa memiliki, ada dua cara. Meminjam punya teman atau ke kios-kios kecil dengan aturan sewa baca di tempat.

Jika meminjam, tak hanya butuh syarat betah berteman dengan pemilik buku. Juga mesti menjaga biar tidak rusak atau robek. Satu lagi, harus mengembalikan tepat waktu. Jadi, terkadang membacanya terburu-buru.

Andai saja bermusuhan, tak pandai menjaga buku yang dipinjam, telat mengembalikan, atau bahkan menghilangkan. Maka, lenyap pula peluang dan kesempatan untuk meminjam lagi.

Cukup bermodal uang seratus rupiah, aku sudah bisa membaca 2 buku di kios penyewaan. Ada tindakan "curang" yang diperbolehkan. Bacanya, ajak teman! Jadi usai membaca, bergantian atau tukaran buku. Biar sekali sewa, bisa membaca 4 buku atau majalah.

Aturannya? Karena masih kecil, harus baca di tempat. Bacaannya diatur oleh penjaga, khusus buku bacaan anak-anak. Dan, tak boleh datang menyewa jika masih berpakaian sekolah.

Jadi, lupakanlah! Peluang anak SD membaca novel orang dewasa. Paling-paling ditawarkan serial Lupus! Pun, tak ada cerita membolos. Bakal diusir pulang!

Hikmahnya saat itu. Dari proses ingin membaca, tak hanya sekadar kesenangan. Juga membentuk sikap dan perilaku. Mesti menjaga kepercayaan, disiplin waktu, dan belajar membaca cepat.

Namun, karena tergantung teman atau tak punya uang. Maka hasrat membaca jadi timbul tenggelam!

Ilustrasi Reading Slump. Menurunnya hasrat membaca (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Reading Slump. Menurunnya hasrat membaca (sumber gambar: pixabay.com)
Terjebak "Reading Slump"

Asupan bacaku, saat beranjak remaja mulai terseleksi sesuai minat dan usia. Dan, sudah mulai membeli satu-dua buku. Walau harus menabung dulu.

Saat SMA apalagi semasa kuliah, seiring pertambahan usia dan kebutuhan, bahan bacaanku malah mirip racikan sepiring gado-gado!

Bercampur antara fiksi dan nonfiksi. Mulai dari karya Sydney Sheldon, John Grisham, Daniella Steele hingga buku Tsun Zu dan Dale Carnagie. Ditambahi bonus naskah-naskah akademis yang acapkali bikin meringis.

Kebiasan membaca itu terus berlanjut, hingga aku menikah dan memiliki anak. Setidaknya, ada alokasi waktu minimal 1 jam khusus untuk membaca.

Lambat laun, mungkin karena kesibukan, kelelahan, kesulitan alokasi waktu, atau berbagai alasan tak terungkap. Minat bacaku jadi menurun drastis. Aku menjadi sulit menikmati bacaan.

Bilang temanku, jika menurunnya hasrat menulis disebut Blockwriter. Maka turunnya hasrat membaca dinamakan Reading Slump!

Akhirnya, buku-buku koleksiku, kubiarkan satu-per satu merantau. Menemui pembaca atau pemilik sementara yang kerap terserang penyakit lupa. Saat itu, aku tak merasakan kehilangan. Toh, sudah kubaca. Siapa tahu ada yang lebih membutuhkan.

Ilustrasi menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Memilih Menulis agar Kembali Membaca

Pada Desember 2018, ada satu keputusan nekad yang kulakukan. Memutuskan untuk menulis! Tentu saja semampu dan semampuku.

Pengalaman mengajarkan. Jika selama ini aku membaca, belum tentu menulis. Maka, jika bertekad menulis, akan memaksaku untuk membaca. Setidaknya, menulis ulang apa yang kubaca.

Begitulah! Maka akun Kompasiana milikku, adalah area terjun bebas dan uji nyali belajar menulis! Untungnya, Kompasiana tak mengenal tinggal kelas.

Dan, saat ini. Aku masih berjuang di antara serbuan medsos dan beragam aplikasi permainan di ponsel! Bagaimana anak-anakku mau membaca. Syukur-syukur bisa menulis. Hiks...

Curup, 18.05. 2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun