Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Fiksi Ramadan: Air di Bukit Batu

10 Mei 2021   17:07 Diperbarui: 12 Mei 2021   22:04 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang lelaki (sumber gambar: pixabay.com)

Mungkin tak penting, jika aku ceritakan. Lima menit sebelum azan zuhur itu, aku melihat Amir. 

Lelaki hampir separuh baya itu, tertatih menyeberangi jalan, dan berhasil memasuki halaman masjid.

Kukira, juga tak penting apakah aku melihat jarum jam atau tidak. Tapi yang pasti sesudah zuhur. Amir mati.

Tubuhnya terkapar tak bergerak ditabrak truk. Ketika menyeberangi jalan saat berjalan pulang dari masjid.

Rasanya, tak perlu aku ceritakan, jika kepala Amir remuk dilindas roda belakang sebelah kanan, yang menahan beban berat sembako untuk operasi pasar menjelang lebaran.

Juga cerita kepanikan beberapa warga di tempat kejadian, yang sibuk berlarian mencari pasir untuk menutupi genangan darah yang berserakan di jalanan.

Hingga seorang warga berinisiatif mengambil tanah dari pot, tanaman bunga mawar kesayangan milik Hasnah. Karena rumah Hasnah yang persis berada di depan masjid.

***

Agaknya, sedikit penting jika aku menceritakan tentang Hasnah. Jika melihat dari wajah, maka orang-orang akan menganggap, usianya di atas empat puluh tahun.

Tak banyak yang tahu, jika usia Hasnah, tepat pada hari pertama Ramadan itu, baru saja menjejaki usia tiga puluh enam tahun.

Jika kau menduga, karena tak dirayakan maka orang tak tahu. kau salah! Beban hidup, perlahan menambah beban di wajah Hasnah.

Setelah suaminya tak lagi mampu bekerja. Setelah jatuh dari pohon kelapa. Empat tahun lalu. Hasna harus berjuang untuk menghidupi keluarga.

Jika sebelumnya, Hasnah yang membuat minyak kelapa. Sejak cedera, suaminya yang ambil alih. Hasnah memiih berjualan pisang bakar. Tetap di rumah, dan buka sesudah salat asar,

***

Sebelum kau bingung dengan ceritaku, dan mulai bertanya-tanya, kenapa aku tahu kisah itu. Jadi, kuanggap penting untuk menjelaskan padamu.

Begini. Amir yang menemui ajal setelah pulang dari salat zuhur, di saat Ramadan dan sedang berpuasa itu adalah ayahku.

Hasnah itu Ibuku. Ia menjadi janda pada bulan puasa. Saat berpuasa. Sebab Ia Istri Amir.

Dua minggu setelah peristiwa kematian Ayah, Ibu mengajakku pindah rumah. Aku tak tahu penyebab atau alasan pindah rumah.

Aku masih mengingat wajah ibu, malam sebelum kepindahan itu, setelah menerima dua orang yang datang bertamu. Ibu menemuiku di kamar.

"Truknya tak ketemu, Nak!"

Aku melihat air mata ibu sebelum memelukku. Juga merasakan kepala belakangku diusap pelan. Bukan jemari ibu. Tapi sebuah amplop berwarna putih yang sejak tadi dipegang ibu.

Kau harus tahu. Semua kejadian itu, tujuh belas tahun lalu.

***

Aku tak akan lagi menceritakan tentang Hasnah. Ibuku. Kau penasaran dan ingin tahu kisahku, kan? Namun, tak banyak yang bisa kuujarkan.

Dua belas tahun lalu, juga di saat Ramadan, Ibu menyusul ayahku. Saat meninggal, usianya juga sama seperti Ayah. empat puluh delapan tahun.

Tak seperti Ayah, yang menemui ajal dan terkapar di jalan dengan bersimbah darah. Ibu pergi dalam posisi sujud, saat melakukan salat malam. Pada malam kedua puluh tujuh Ramadan.

Saat itu, delapan belas tahun usiaku. Semoga kau sepertiku. Percaya, jika Tuhan sudah menyusun rencana indah untukku.

***

Dua orang polisi itu, sibuk membolakbalikkan berkas perjalananku. SIM, KTP, STNK juga surat jalan.

"Sudah berapa lama jadi sopir?"

"Lima Tahun, Pak!"

"Kau kenal daerah ini, kan?"

Aku menatap tajam mata lelaki berseragam di hadap dudukku. Pertanyaan itu, mengingatkanku pada peristiwa tujuh belas tahun lalu.

Sesaat, kulihat lelaki yang sejak tadi memeriksa berkasku, mengangkat ponsel. Hanya dua kali anggukan, mematikan ponsel. kemudian menatapku.

"Iya. Barusan laporan masuk. Peristiwanya di depan masjid. Anak laki-laki, berusia tujuh tahun. Korban sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."

Dua petugas polisi itu menatapku. Aku diam. Kemudian menyerahkan kedua pergelangan tanganku. Aku mengingat gerakan itu seperti di film. Isyarat berserah dan pasrah.

"Aku mengaku salah, Pak!"

***

Malam tadi, kudengar bisikan petugas polisi saat mengantarku ke sel tahanan.

"Anak itu masih hidup!"

Pagi ini, Ruangan tahanan sedikit gelap. Namun tidak pengap. Beberapa tubuh asing saling berbagi tempat, dan lelap di lantai berubin dingin. Sayup, kudengar gema takbir dari kejauhan.

Setiap ramadan berlalu. Hatiku tak lagi bisa membatu. Air mataku, tak sempat mencari tempat persembunyian.

Curup, 10.05.2021

Zaldy Chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun