"Enak, Nak?"
Ibu menatapku. Menunggu. Lidahku bersekutu dengan gigiku, memaksa perkedel jagung yang masih terasa hangat melewati tenggorokan. Akhirnya kupilih, menganggukkan kepala, dan mengajukan dua ibu jari milikku. Ibu tersenyum. Puas.
"Kau seperti ayahmu!"
Â
Aku membalas senyum ibu. Bukan tanpa alasan, melakukan itu. Aku masih mengingat percakapan dengan ayah sambil berbisik di meja makan.
"Menurutmu, sup ayam tadi asin?"
"Sedikit! Tapi bilang Ayah jangan..."
"Bagus! Kau harus mengerti. Masakan ibumu, paling enak di dunia."
Malam itu. Tiga tahun lalu. Kukira ayah sengaja menunggu ibu membawa piring kotor ke dapur. Kemudian berbisik tentang masakan ibu. Tanpa ibu.
Dan, malam itu. Adalah makan malam terakhir ayahku.
***